UNIVERSALITAS KESELAMATAN

Hari Minggu Biasa XX/Th. A (Yes 56:1.6-7; Rom 11:13-15.29-32; Mat 15:21-28)

0 405

Bacaan-bacaan suci hari ini berbicara tentang sifat atau hakekat yang luas dan universal dari “Kerajaan Allah,” dalam kontras dengan keyakinan, hukum dan tata aturan Yahudi yang mengklaim bahwa keselamatan harus datang terlebih dahulu kepada mereka, dan melalui merekalah keselamatan akan sampai kepada segala bangsa di bumi. Meskipun Allah menetapkan bangsa Israel sebagai umat pilihan-Nya, Dia juga menyertakan semua bangsa dalam rencana keselamatan-Nya dan memberkati semua keluarga di bumi melalui Abraham (Kej 12:1-3). Melalui nabi Yesaya dalam bacaan pertama hari ini, Tuhan bersabda, “…Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa” (Yes 56:7). Dengan ini Allah ingin mengungkapkan kebenaran bahwa di mata-Nya tidak ada perbedaan di antara manusia berdasarkan ras, kasta, atau warna kulit. Kerajaan Mesias yang telah dinantikan tidak hanya ditujukan bagi kaum Yahudi, tetapi juga bagi semua bangsa. Sesungguhnya Sabda Tuhan ini terutama ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang, setelah Pembuangan resmi berakhir, masih memilih untuk tetap tinggal di Babilon, di tengah bangsa-bangsa lain. Dalam hal ini, Tuhan Allah tidak hanya mengajak kaum Yahudi kembali ke Yerusalem untuk membangun Kota dan BaitNya yang kudus, tetapi Ia juga berusaha membuat mereka memahami peran bangsa-bangsa lain dalam Kerajaan Mesianik yang akan datang. Meskipun di masa lalu semua yang datang kepada Allah Israel diharuskan menerima Hukum dan Perjanjian, namun keprihatinan Allah terhadap mereka yang berada di luar Hukum dan Perjanjian itu membawa-Nya pada solusi baru dan radikal: “Orang-orang asing, yang bersatu dengan Yahweh, yang melayani-Nya, mencintai namaNya, dan menjadi pelayan-Nya…..merekalah yang akan diantarNya ke gunungNya yang kudus dan diberi sukacita dalam rumah doaNya….” (Bdk. Yes 56:6-7a). Dengan demikian, nubuat Yesaya yang secara langsung berlaku untuk Kerajaan Mesianik yang akan datang, meyakinkan kaum Yahudi bahwa Allah mereka juga sangat tertarik pada bangsa-bangsa lain dan keturunan Abraham. Karena itu, klaim eksklusif kaum Yahudi sebagai bangsa pilihan Allah sudah seharusnya mengalah, karena ternyata bahwa Allah juga memberi tempat bagi bangsa-bangsa lain. Selain kaum pembuangan Israel, Yahweh juga akan menerima bangsa-bangsa non-Israel yang telah bersatu dengan Tuhan. Singkatnya, nabi melaporkan bahwa setiap orang memiliki peran dalam rencana Allah, bahkan mereka yang tidak memeluk “agama yang benar” sekalipun. Dalam hal ini, kita semua saling memiliki satu sama lain, dan karena itu, tidak ada tempat bagi diskriminasi di antara anak-anak Allah.

Dalam bacaan kedua (Roma 11:13-15, 29-32), Paulus menjelaskan bahwa meskipun bangsa Yahudi adalah bangsa terpilih, namun ternyata banyak di antara mereka menolak Yesus sebagai Mesias terjanji. Akibatnya, Allah berpaling kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi yang menerima rahmat-Nya melalui iman mereka kepada Yesus. Di sini Paulus bertanya, bagaimana Allah seakan bisa membatalkan janji-Nya kepada Abraham bahwa keturunannya akan selalu menjadi umat pilihan Allah, karena sekarang keturunan itu ternyata telah menolak Yesus? Paulus menjawab pertanyaannya sendiri dengan menjelaskan bahwa rencana Allah sepanjang masa memungkinkan penolakan kaum Yahudi terhadap Yesus. Akibatnya, segelintir kaum Yahudi yang menerima Yesus dan pergi untuk memberitakan Kabar Gembira, sebagaimana dirinya sendiri, terpaksa berpaling kepada bangsa-bangsa non-Yahudi dan membawa mereka ke dalam Perjanjian Baru. Menurut Santo Thomas Aquinas, “Allah mengizinkan kejahatan hanya jika Dia dapat menghasilkan kebaikan yang lebih besar darinya”. Dengan demikian, Allah mengizinkan baik kaum Yahudi maupun non-Yahudi untuk tidak taat kepada-Nya agar Dia dapat menunjukkan rahmat-Nya dengan menawarkan kehidupan kekal kepada semua orang yang rindu menerimanya. Karena kecewa oleh lambatnya pertobatan bangsa Yahudi, dan karena dicegah untuk terus bekerja secara langsung di antara kaum Yahudi akibat permusuhan fisik terbuka yang ditunjukkan sinagoga-sinagoga Yahudi terhadap dirinya dan teman-temannya, Paulus mengarahkan misi pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, agar kaum Yahudi menjadi cemburu dan menerima Yesus. Dengan demikian, rencana rahasia Allah untuk mengundang semua orang ke dalam Perjanjian akan terungkap dan terpenuhi. Dengan pernyataan, “Penolakan mereka adalah perdamaian bagi dunia,” Paulus bermaksud bahwa penolakan kaum Yahudi terhadap Yesus memungkinkan dunia (bangsa-bangsa kafir, orang-orang non-Yahudi) untuk didamaikan dengan Allah. Sedangkan dengan pertanyaan, “Apakah penerimaan mereka akan merupakan kebangkitan dari kematian?”, Paulus bermaksud bahwa kaum Yahudi yang akhirnya menerima Kristus akan menerima kehidupan baru melalui bangsa-bangsa kafir yang sebelumnya mati secara rohaniah. Paulus yakin bahwa bangsa Yahudi pada akhirnya akan menerima Kristus karena “panggilan Allah yang tidak dapat ditarik kembali” kepada mereka melalui Abraham adalah panggilan untuk keselamatan kekal. Kegagalan Paulus dalam menobatkan rekan-rekannya sesama Yahudi menjadi contoh bagi kita yang harus selalu siap menerima kegagalan dalam hidup dan karya kita sendiri, terutama ketika menyangkut orang-orang yang kita cintai, yang menolak apa yang kita nilai sebagai keuntungan bagi mereka. Pesan Paulus juga merupakan tantangan bagi kita untuk senantiasa tekun berdoa demi pertobatan internal Gereja.

Injil hari ini (Mat 15:21-28) berkisah tentang penyembuhan anak perempuan dari seorang wanita Kanaan, suku Syro-Fenisia, berkat imannya yang besar. Orang Kanaan adalah musuh nenek moyang bangsa Yahudi dan dianggap sebagai bangsa kafir, penyembah berhala, serta najis secara ritual. Namun, perempuan ini menunjukkan “kasih yang gagah berani, yang bertumbuh hingga bersujud di hadapan Yang Ilahi, ketekunan tak terkalahkan yang timbul dari harapan yang tak terpatahkan, dan keceriaan yang tak gentar”. Dengan mengabulkan permohonan yang gigih dari perempuan kafir ini, Yesus menunjukkan bahwa misinya adalah untuk merobohkan tembok-tembok penghalang dan sekat-sekat pemisah serta prasangka timbal balik antara kaum Yahudi dan bukan Yahudi. Sesungguhnya Allah tidak membeda-bedakan, melainkan menyambut semua orang yang percaya kepada-Nya, yang memohon belas kasih-Nya, dan yang berusaha melakukan kehendak-Nya.

Alur kisah Injilnya demikian. Pertama-tama, Yesus mengabaikan seruan yang terus-menerus dari perempuan Kanaan itu serta ketidaksabaran para murid untuk mengusir perempuan tersebut. Kemudian, Ia berusaha membangkitkan Iman yang sejati di hati perempuan itu dengan menolak permohonannya secara tidak langsung, dengan mengatakan, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat 15:24). Namun perempuan itu tetap tekun dalam permintaannya. Ia bersujud di hadapan Yesus dan memohon, “Tuhan, tolonglah aku” (Mat 15:25). Lalu Yesus mengucapkan pernyataan yang kedengarannya sangat kasar, “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Di sini, “anjing” adalah kata yang digunakan untuk merendahkan orang-orang bukan Yahudi. Dalam hal ini, bangsa Yahudi menganggap anjing sebagai binatang najis, karena makan segala sesuatu yang diberikan (termasuk daging babi yang dianggap najis). Namun perempuan Kanaan itu memperhatikan bahwa Yesus menggunakan kata “anjing” dalam pengertian khusus, yang berarti hewan peliharaan rumah tangga (Yunani: “kunariois”), dan bukannya kata “anjing” dalam pengertian umum dan biasa, yang dianggap sebagai binatang najis (Yunani: “kuon”). Dia juga melihat bahwa Yesus menggunakan kata “anjing” dengan cara menantang, yang mengajaknya untuk menjawab dengan cara yang sama pula. Maka dia pun segera mengimbangi kecerdasan Yesus. Argumennya demikian: Hewan peliharaan bukanlah entitas luar dan asing, melainkan yang ada di dalam. Mereka bukan hanya milik keluarga, tetapi bagian dari keluarga. Meskipun mereka tidak diberi tempat di meja, mereka menikmati kedekatan di kaki keluarga. Karena itu, perempuan itu menjawab, “Benar, Tuhan, tetapi bahkan anjing-anjing pun makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya!” (Mat 15:27). Inilah ungkapan imannya yang teguh, yang sungguh yakin bahwa Yesus bisa dan akan menyembuhkan putrinya. Yesus pun sungguh terpikat oleh kedalaman iman, keyakinan, serta kecerdasan perempuan itu, lalu menjawab dengan sukacita, “Hai perempuan, besarlah Imanmu! Maka jadilah bagimu seperti yang kaukehendaki.” Di sini, ketekunan dan kegigihan perempuan itu seakan menggarisbawahi ajaran Yesus dalam Lukas 18:1-8, yang diperkuat oleh Paulus dalam Efesus 6:18, bahwasanya manusia harus tekun dalam doa. Inilah kisah tentang seorang perempuan yang mendapatkan lebih daripada yang diharapkannya. Ia datang kepada Yesus untuk meminta satu mujizat, tetapi yang didapatnya justru dua hal: putrinya dibebaskan dari penguasaan setan dan menerima kehidupan baru; dan ibu itu sendiri, juga menemukan kehidupan baru melalui pengalaman perjumpaannya dengan Kristus. Di sini, kehebatan Iman perempuan Kanaan itu terletak dalam hal: (a) kesiapannya untuk melampaui tapal-batas rasisme; (b) penolakannya untuk diabaikan karena posisinya dalam hidup, dan (c) kerendahan hatinya dalam mengakui bahwa ia tidak layak mendapatkan perhatian dan waktu dari Sang Guru. Katekismus Gereja Katolik mengingatkan kita bahwa perempuan dalam Injil hari ini melihat dalam diri Yesus ciri-khas Mesias, “Anak Daud”, yang dijanjikan Allah…(KGK, 439). Sebab, jika seseorang sungguh percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah dan beriman kepada-Nya, maka apapun yang diminta dan didoakan, niscaya akan didapat (Bdk. KGK, 2610).

Ada beberapa pesan yang dapat kita ambil dari bacaan-bacaan suci hari ini untuk hidup kita: Pertama, kita perlu gigih dalam doa dengan keyakinan yang teguh. Meskipun pujian dan ucapan syukur merupakan bagian-bagian penting dalam doa, namun doa permohonan, seperti juga doa penyesalan, memiliki peran besar dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani-rohani kita dengan daya dan kekuatan kita sendiri. Kristus sendiri telah memberitahu kita untuk meminta kepadaNya: “Mintalah, maka kamu akan menerima.” Meminta dengan semangat dan ketekunan membuktikan bahwa kita memiliki “Iman yang besar” sebagai prasyarat untuk menerima segala anugerah dan berkat Tuhan. Dalam hal ini, kita perlu sadar bahwa kita tidak akan selalu mendapatkan sesuatu persis seperti yang kita harapkan, melainkan apa yang Allah tahu kita perlukan, apa yang Dia inginkan untuk kita, dan apa yang sebenarnya terbaik bagi kita. Yang paling kita butuhkan adalah menerima kedamaian dan keamanan yang berasal dari keselarasan dengan kehendak Allah untuk kita. Sebagai orang Kristen, kita juga tahu bahwa permintaan khusus kita tidak selalu selaras dengan kebaikan kita, atau untuk kebaikan akhir dari orang-orang yang kita doakan. Dalam hal ini, Allah yang Mahabaik tidak akan memberikan apa yang (secara kekal) akan merugikan kita atau orang lain. Namun jika doa-doa kita tulus dan tekun, kita akan selalu mendapatkan jawaban yang lebih baik daripada apa yang kita minta. Karena itu, percayalah bahwa setiap kali kita berdoa untuk memohon sesuatu, jawabannya sudah dalam perjalanan, bahkan sebelum kita memintanya kepada Allah. Kita hanya perlu percaya pada waktu yang telah ditetapkan Allah dan hikmat-Nya yang tak terbatas bahwa Dia akan menjawab kita sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya.

Kedua, kita perlu meruntuhkan tembok-tembok pemisah di antara kita untuk selanjutnya saling berbagi dalam universalitas cinta Allah. Seringkali kita mendirikan tembok yang memisahkan kita dari Allah dan sesama. Injil hari ini mengingatkan kita bahwa cinta dan rahmat Allah diperluas kepada semua yang berseru kepadaNya dengan iman dan kepercayaan, tak peduli siapapun mereka. Dengan kata lain, perhatian Allah melampaui batas-batas suku, ras dan bangsa menuju hati dari semua yang hidup, dan Rumah Allah dimaksudkan menjadi Rumah doa bagi semua bangsa. Karena itu, pantaslah kita berdoa agar tembok-tembok yang dihasilkan oleh kebanggaan, arogansi, intoleransi, ketakutan, dan prasangka kita, dapat runtuh. Selanjutnya, kita mesti bersyukur kepada Allah atas segala berkat yang kita terima. Sebagai warga komunitas Kristen, kita telah diberi hak istimewa dan akses yang mudah kepada cinta Allah. Namun, kita juga memiliki tanggung jawab serius yang timbul dari karunia-karunia itu. Salah satunya ialah menjelaskan dengan jujur, rendah hati dan kasih sejati kepada semua orang bahwa cinta, rahmat, dan penyembuhan Allah juga ditujukan kepada mereka karena mereka pun adalah anak-anak Allah. Mudah-mudahan….Amin!!!

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More