KETAKTERCERAIAN DAN PERCERAIAN YANG DIPERBOLEHKAN DALAM PERKAWINAN MENURUT GEREJA KATOLIK

0 89

ABSTRAKSI

Allah menciptakan laki – laki dan perempaun untuk saling melengkapi.  Saling melengkapi di sini memiliki sifat yaitu sehidup semati. Gereja katolik mengukuh sifat ini dengan perkawinan sakramental yang mengandung tak terceraikan atau monogami. Perkawinan yang tak terceraikan dalam Gereja adalah perkawinan yang mengandung “ ratum et consummatum”, artinya perkawinan yang sah menurut Gereja Katolik atau perkawinan yang disatukan melalui sakramen.  Dalam kanon 1134 mengatakan; dari perkawinan sah timbul ikatan antara suami dan istri yang dari kodratnya bersifat tetap dan eksklusif, di samping itu perkawinan suami istri diperkuatkan dengan sakramen khusus untuk tugas – tugas serta martabat statusnya dan seakan – akan ditahbiskan. Sehingga sifat perkawinan sacramental dalam Gereja katolik adalah monogami atau tak terceraikan. Meskipun ajaran Gereja tidak memperbolehkan adanya perceraian tetapi dalam KHK mempunyai bagian yang akan membahas mengenai perceraian dalam perkawinan. Tetapi pengadilan Gereja melalui hukum berusaha menjelaskan perceraian yang diporbolehkan agar tidak terjadi pertentangan riil dalam kehidupan umat khususnya bagi umat yang hidup dalam perkawinan Gereja katolik.

Kata Kunci : perkawinan sacramental, monogamy, ratum et consummatum, perceraian, Hukum Pengadilan Gereja.

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan suatu lembaga yang sama tua usianya dengan manusia sendiri. Sejak ada sejarah mengenai manusia jejak perkawinan sudah ada. Dan ajaran Gereja mengenai perkawinan disesuaikan dengan aturan sejarah penciptaan di mana laki – laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dengan suatu tujuan yaitu agar dapat penuhi bumi.  Dan dalam Gereja Katolik perkawinan harus disatukan dalam sakramen sebab ketika laki – laki dan perempuan disatukan melalui sakramen maka dengan sendirinya dapat memperatkan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan Kristus dengan Gereja. Maka itu tujuan perkawinan adalah untuk saling membahagiakan dalam sehidup semati sehingga sifat monogam selalu kukuh dan teguh dalam kehidupan pasangan. Namun berdasarkan realita yang dialami sekarang banyak sekali perceraian yang terjadi dalam perkawinan Gereja katolik. Terkhusus terjadinya berbagai perkembangan yang mempengaruhi ikatan perkawinan sehingga janji perkawinan yang diikatkan seringkali tercerai. Artinya sifat perkawinan yang monogam atau tak terceraikan tidak terpatri dalam kehidupan perkawinan sekarang.  Maka dari  itu dalam menghadapi problem ini Gereja melalui hukum berusaha untuk menjelaskan ketakterceraian dan perceraian yang diperbolehkan dalam perkawinan Gereja katolik agar umat yang berada dalam kehidupan ini dapat mengerti hakikat dari perkawinan  Gereja katolik.

PEMABAHASAN

PERKAWINAN SAKRAMENTAL

Dalam ajaran kristiani ikatan perkawinan terjadi harus melalui ikatan Yuridis terkhususnya  pada ikatan perkawinan sakramental di mana hukum kanonik menjelaskan bahwa perkawinan sacramental merupakan perkawinan yang harus diadakan oleh dua orang yang sudah dibabtis atau sudah menjadi anggota Gereja melalui sakramen pembabtisan. Karena Perkawinan sacramental pada dasarnya merujuk pada kesucian sebuah perkawinan. Perkawinan tidak hanya mengenai persekutuan pribadi antara laki – laki dan perempuan saja tetapi lebih dari itu  perkawinan  menjadi sarana untuk mengenal Allah lebih baik atau secara penuh dan mencintai – Nya lebih mendalam. [1]

Dalam menjaga kesucian pada perkawinan agar tetap utuh maka Gereja katolik melalui kanon 1056 menjelaskan bahwa sifat – sifat hakiki perkawinan adalah monogam dan tak terceraikan, sehingga perkawinan Kristiani memperoleh kekuatan khusus atas dasar sakramen. Kanon ini mau mengungkapkan pandangan Gereja katolik bahwa setiap orang tidak boleh mempunyai istri atau suami  lebih dari satu; di mana suami istri yang sah adalah bersifat tak terceraikan dan suami istri yang dua – duanya telah dibabtis secara sah dan telah menikah secara sah pula, hampir tidak mungkin diceraikan. [2]

Sudah di sini ketakterceraian tidak berarti bahwa perceraian tak pernah mungkin. Kanon ini mau membedakan ketakterceraian biasa dengan ketakterceraian yang bersifat perkawinan Kristen.[3] Secara jelas dalam Gereja Katolik ikatan perkawinan merupakan ikatan yang takterceraikan karena  ikatan cinta antara seorang laki – laki dan perempuan yang menggambarkan ikatan cinta antara Allah dengan manusia, namun perceraian bisa saja terjadi dalam kehidupan perkawinan ketika menghadapi berbagai problem yang tidak sesuai dengan Hukum Kanonik yang mengatur semuanya.

Ajaran Gereja mengakui secara jelas bahwa di antara pria dan wanita yang disatukan dalam sakramen perkawinan tidak terceraikan, tetapi pengadilan dalam Gereja melalui Kitab Hukum Kanonik  ( KHK ) mempunyai bagian khusus atau tersendiri yang membahas mengenai perceraian perkawinan. Kecuali perkawinan  “Ratum et Consummatum”  semua perkawinan lain bisa diceraikan oleh Gereja.  Oleh karena itu  Kitab Hukum Kanon berusaha menjelaskan maksud dari ketakterceraian dan perceraian yang dapat dimengerti dan diterima sehingga tidak menimbulkan kesalahapahaman dalam diri umat. [4]

PERKAWINAN RATUM ET CONSUMATUM

Perkawinan  Ratum et consummatum merupakan perkawinan indissolubilitas atau perkawinan mutlak atau perkawinan yang dilangsung secara sah menurut ranah hukum Gereja katolik, mempunyai akibat yang tetap dan tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian. Maka dari itu suatu perkawinan dikatakan ratum jika perkawinan yang dilaksanakan dan dijalani dengan mengandung tiga unsur penting dalam kehidupan perkawinan :

  • perkawinan dikatakan “ratum (sah) “  jika kedua bela pihak,  laki – laki dan perempuan telah    dibabtis
  • perkawinan dikatakan sah atau ratum jika laki – laki dan perempuan yang disatukan saling menyerahkan diri secara total dengan cinta melalui persetubuhan.
  • Perkawinan dikatakan sah atau ratum jika persetubuhan yang dilakukan antara seorang laki – laki dan perempuan bersifat manusiawi dan saling menghormati, tidak dilakukan untuk kepuasan nafsu belaka atau untuk kenikmatan daging dari salah satu pasangan. [5]

Perkawinan yang dilaksanakan di dalam Gereja bertopang pada ketiga unsur ini, jika unsur – unsur ini tidak dilakukan maka perkawinan tidak diakui dalam Gereja Katolik.  Khususnya pada unsur pertama,  jika salah satu pihak belum menerima sakramen pembabtisan maka perkawinan tersebut tidak mampu dilakukan dalam Gereja  katolik , namun perkawinan tersebut dimungkinkan jika mendapatkan izin dari pemimpin Gereja.  Hal yang harus perluh diketahui bahwa nilai Gereja dari perkawinan tersebut sulit ditentukan, sehingga perkawinan tersebut dapat dikatakan bukan sakramen karena tidak adanya kesatuan dalam iman.  Hal ini juga berlaku bagi perkawinan campur yang sering terjadi.  [6]

Dalam perkawinan campur atau perkawinan beda Agama khususnya dalam Gereja Katolik, jika kedua pasangan memutuskan untuk melangsungkan perkawinan dalam Gereja Katolik maka pasangan yang belum dibabtis atau beragama lain harus memutuskan untuk dibabtis agar perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dan diteguhkan dalam perayaan ekaristi dan mencapai sifat “ commsumatio “.  Jika salah satu pasangan belum bersatu penuh dengan Gereja Katolik,  biasanya perkawinan tersebut tidak diteguhkan dalam Perayaan Ekaristi meski dalam hal ini tidak ada peraturan atau ketetapan yang mutlak dan umum. [7]

PERKAWINAN YANG BOLEH DICERAIKAN DALAM PENGADILAN GEREJA

Dalam gereja katolik perceraian tidak terjadi bagi perkawinan yang didasarkan pada sakramen sebab sifat hakiki dari perkawinan adalah monogam atau tak terceraikan yang diporbolehkan untuk bercerai adalah perkawinan tidak didasarkan pada syarat dari Gereja katolik yang diberikan yaitu perkawinan melalui sacramen. Dan ciri perkawinan ini banyak terjadi dalam kehidupan umat katolik. Dan Gereja katolik menanggapi hal ini dengan menjelaskan bahwa perkawinan yang tidak didasarkan pada sakramen meskipun  sudah disempurnahkan dengan persetubuhan diporbolehkan untuk melakukan perceraian  dengan alasan perkawinan itu telah dirusakkan dan teman perkawinan tidak mau hidup bersama lagi atau tidak ingin berdamai lagi namun problem ini diselesaikan melalui aturan – aturan yang khusus. Dan uskup  yang berdomisili ditempat tersebut bersama seorang hakim untuk memeriksa apakah permasalahan ini benar atau tidak. Tetapi yang harus diketahui bahwa perkawinan tidak bisa diceraikan oleh laki – laki dan perempuan tetapi harus membuat surat permohonan kepada uskup setempat untuk menceraikan perkawinan mereka tersebut. [8]

Dan satu – satunya bentuk perceraian atau perpisahan yang diperkenankan Gereja Katolik untuk umatnya dengan suatu alasan yang sangat kuat adalah pisah ranjang dan meja. Hal ini disinggung dalam buku “ Marriage, the church, and its judgets in renaissance venice”  yang membicarakan tentang peran pengadilan Gereja di Venesa dalam menyelesaikan problem dari suatu perkawinan.  Dan tindakan perpisahan yang sah dalam suatu perkawinan dapat diselesaikan dalam pengadilan melalui dekrit Gereja. Dalam kanon. 1151 sampai dengan kanon 1155 menjadi dasar dalam penyelesaian masalah perkawinan ini ; dimana suatu cara hidup yang tidak bermoral atau kriminal, atau bahaya untuk badan dan jiwa bagi anggota keluarga yang lain memberi hak perceraian bagi pihak yang tak bersalah, selama alasan perceraian itu ada, namun bisa dipulihkan kembali kecuali ditentukan oleh otoritas Gerejawi  seperti yang dikatakan di atas di mana otoritas Gereja itu adalah Paus atau uskup yang berdomisili ditempat kejadian tersebut( Kanon 1151 –1155 ).[9]

PENUTUP

Kehadiran Gereja merupakan hal yang sangat penting bagi umatnya yang ingin hidup bersama dalam perkawinan. Terkhususnya berbagai problem yang terjadi pada perkawinan, kehadiran Gereja menjadi suatu dukungan bagi umatnya agar selalu menjaga keutuhan kebersamaan mereka. Dengan ini Gereja Katolik haruslah mengutus para ahli hukum Gereja untuk menolong umatnya yang tengah mengalami percekcokan, dengan mengarahkan mereka untuk memahami hakikat dari suatu perkawinan. Dan di sini peran pengadilan Gereja sangatlah penting, kiranya mereka menjadi suatu lembaga yang selalu aktif dalam kehidupan umatnya agar ketika adanya pengaduan mengenai problem perkawinan atau problem lainnya, mereka selalu bersiap untuk membantu umatnya untuk menyelesaikan permasalahan dengan suatu keputusan yang adil.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Lon, Servatius, Yohanis, Hukum Perkawinan Sakramental dalam Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2019

Hadiwardoyo, Purwa, Hukum Gereja Katolik Tentang Perkawinan, Yogyakarta: Kanisius, 2020

Konigsman, Josef,  Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik,  Ende: Nusa Indah, 1987

Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Peschke, Heinz, Karl, Etika Kristiani JILID III tentang; Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 1997

[1] Yohanis Servatius Lon, Hukum Perkawinan Sakramental dalam Gereja Katolik, ( Yogyakarta: Kanisius, 2019 ) hlm. 11

[2] Purwa Hadiwardoyo, Hukum Gereja Katolik Tentang Perkawinan ( Yogyakarta: Kanisius, 2020 ) hlm.2

[3] Josef Konigsman, Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik ( Ende: Nusa Indah, 1987 ) hlm.93

[4] Ibid, hlm. 94

[5] Josef Konigsman, Op. Cit, hlm. 344

[6] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik ( Yogyakarta: Kanisius, 1996 ) hlm. 439

[7] Ibid

[8] Josef Konigsman, Op. Cit, hlm. 101

[9] Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani JILID III tentang; Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi ( Maumere: Ledalero, 1997 ) hlm. 344

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More