HAKIKAT PERKAWINAN KATOLIK DAN PERAN DEWAN TRIBUNAL GEREJA TERHADAP KESEJAHTERAAN PERKAWINAN

Abstraksi
Realitas sering membuktikan banyak terjadi masalah-masalah dalam perkawinan katolik. Masalah-masalah itu terjadi karena suami-istri Katolik kurang memahami hakikat perkawinan Katolik. Karena itu, usaha untuk terus mendeskripsikan hakikat perkawinan Katolik dipandang sebagai sebuah keharusan yang mutlak, sebab hakikat perkawinan Katolik adalah fondasi internal yang mengokohkan suatu perkawinan demi terciptanya sebuah kesejahteraan yang ideal dalam kehidupan perkawinan. Untuk mencapai kesejahteraan yang ideal, Dewan Tribunal Gereja sebagai otoritas Gereja dipandang urgen untuk memainkan peran, fungsi, dan tugasnya. Melaluinya diharapkan kesejahteraan ideal dalam kehidupan perkawinan suami-istri dari sisi eksternal senantiasa dijaga keutuhannya, sehingga bisa meminimalisir terjadinya masalah-masalah dalam perkawinan.
Kata kunci: hakikat perkawinan, dewan tribunal gereja
Pendahuluan
Dalam pandangan Gereja Katolik perkawinan adalah sebuah sakramen. Umat Katolik yakin bahwa manusia diciptakan sebagai pria-wanita karena cinta dan diutus agar dicintai (Kejadian 2:18-25). Perkawinan diakui sebagai suatu persekutuan seorang pria dan seorang wanita yang dengan kesadaran penuh dan bebas menyerahkan seluruh diri serta segala kemampuannya satu sama lain untuk selama-lamanya. Konsep ini melahirkan suatu kenyataan bahwa perkawinan Katolik tidak menghalalkan terjadinya suatu perceraian.[1]
Perkawinan yang tak terceraikan menurut hukum Kanonik didasarkan pada kenyataan bahwa perkawinan adalah satu dari tujuh sakramen gereja. Sakramen perkawinan sebagai sakramen pelayanan adalah “suatu perayaan yang dengannya ikatan pernikahan menjadi tanda kasih dan persatuan Allah dengan umat-Nya. Para suami, kasihilah istrimu, sama seperti Kristus mengasihi Gereja (Efesus 5:25).[2] Dengan landasan ini maka, dalam gereja katolik, perkawinan itu sifatnya indissolubilitas yang berarti perkawinan katolik tidak menghendaki terjadinya perceraian.
Namun, masalah perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya terus terjadi. Masalah-masalah itu kemudian bermuara pada perceraian. Terhadap permasalahan ini, usaha untuk memahami, menghayati, dan merealisasikan hakikat perkawinan dipandang sebagai sebuah keharusan yang mutlak bagi pasangan suami-istri Katolik. Selain itu, dengan berperannya Dewan Tribunal Gereja, kiranya perkawinan yang telah diikrarkan sebagai sebuah perkawinan sakramental senantiasa dijaga keutuhannya demi terciptanya kesejahteraan perkawinan Katolik sepanjang hayat.
Hakikat Perkawinan Katolik
Hakikat perkawinan Katolik sekurang-kurangnya terdiri atas empat bagian penting yakni: Pertama, menghasilkan dan mendidik anak. Kedua, saling membantu dan mendidik di dalam cinta. Ketiga, monogami dan ketakterceraian. Jantung dari hakikat perkawinan Katolik ini diuraikan sebagai berikut[3].
Pertama, Menghasilkan Dan Mendidik Anak.
Menurut hakikatnya, perkawinan dan cinta kasih suami-istri tertuju kepada adanya keturunan serta pendidikan anak. Kehadiran anak hasil dari perkawinan merupakan karunia perkawinan yang paling luhur, dan amat besar artinya bagi kesejahteraan orang tua. Kehadiran seorang anak pun merupakan tanda kesetiaan suami–istri yang dengan keberanian bekerja sama dengan Sang Pencipta. Hakikat ini hanya bisa terwujud apabila pengembangan dan penghayatan kasih suami-istri yang sejati dalam seluruh tata hidup berkeluarga senantiasa dijaga integritasnya dan tertuju pada kebaikan suami-istri (bonum coniugum).[4]
Menjaga integritas perkawinan berdampak pada proses mendidik anak. Mendidik anak merupakan kewajiban dan hak primer sebagai orang tua. Hadirnya seorang anak perlu dididik sekuat tenaga oleh orang tua dengan mendidiknya dalam pelbagai aspek baik fisik, sosial dan kultural maupun moral dan religius.[5] Dengan pendidikan yang komprehensif dari berbagai aspek nilai, anak dapat bertumbuh menjadi pribadi yang mampu menjadi sosok yang diandalkan dalam kelurga dan dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Menghasilkan dan mendidik anak adalah hakikat dari tujuan perkawinan. Hakikat dari tujuan ini bermuara pada kehidupan perkawinan yang sejahtera. Sejahteranya sebuah perkawinan mengandaikan adanya kerjasama suami-istri dalam pelbagai aspek dengan penuh kasih. Melalui itu, proses menghasilkan dan mendidik anak senantiasa dilandaskan pada cinta yang sejati. Dengan demikian, perkawinan sungguh bersifat sakramental yang mengikat dan mensucikan suami-istri sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kedua, Saling Membantu Dan Mengisi Di Dalam Cinta
Hakikat ini merupakan tujuan dari hakikat perkawinan selain menghasilkan dan mendidik anak. Dalam perkawinan perempuan dan laki-laki saling membantu, melayani dan bekerja sama berdasarkan ikatan mesra antar pribadi:[6]. Tujuan ini sebagai sebuah hakikat perkawinan memiliki potensi yang sama sebagaimana menghasilkan dan mendidik anak[7]. Sebab di dalam ikatan perkawinan, laki-laki dan perempuan memiliki tugas dan fungsi yang sama yakni saling mengisi dengan pelbagai karunia dalam cara yang paling baik.
Muara dari hakikat ini tertuju pada persekutuan hidup perkawinan. Mengenai persekutuan hidup perkawinan, suami dan istri memiliki kewajiban dan hak yang sama[8] dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya senantiasa menghadirkan tiga nilai penting yakni saling membantu, saling bekerja sama dan saling melayani. Basis dari tiga nilai ini mengantar suami dan istri untuk hidup dalam persekutuan yang utuh dan mesra. Dengan itu, perkawinan menjadi wadah menghadirkan nilai-nilai religius sekaligus juga menjadi cermin yang memantulkan nilai-nilai itu ke tengah kehidupan masyarakat.
Ketiga, Monogami (unitas) dan Indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan)
Dasar dari perkawinan yang monogami dan indissolubilitas sesungguhnya tertulis secara implisit dalam Markus 10:6-8 “Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Teks ini menjadi dasar yang menegaskan bahwa perkawinan Katolik adalah perkawinan yang monogam (unitas) sejauh perkawinan itu sah secara sakramental. Perkawinan monogami kemudian ditegaskan lagi dalam Kitab Hukum Kanonik bahwa perkawinan yang monogami adalah ciri hakiki esensial (proprietates essentiale) yakni perkawinan ialah unitas (kesatuan) indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan) atas dasar sakramen.[9]
Sesungguhnya perkawinan Katolik yang monogami (unitas) dan indissolubilitas terarah pada persatuan untuk memelihara dan memupuk janji setia perkawinan dengan cinta yang murni dan dengan kasih yang tak terbagi.[10] Cinta yang murni dan kasih yang tak terbagi dalam kehidupan perkawinan merupakan hal fundamen yang harus senantiasa ditumbuh kembangkan oleh suami-istri, sebab hal itu akan mengarah pada terciptanya kesejahteraan dan kebahagian dalam perkawinan. Selain itu, alasan untuk terus memupuk dan memelihara perkawinan dengan cinta yang murni dan kasih yang terbagi karena perkawinan adalah rahmat dan karunia istimewa dari Tuhan.[11]
Dalam tataran teologi, perkawinan Katolik yang monogam (unitas) adalah layaknya persekutuan yang utuh antara Allah dan Gereja. Ketika sepasang kekasih berdiri di atas altar menerima ikatan perkawinan, maka “pengantin laki-laki berdiri sebagai perwujudan Kristus, dan pengantin perempuan berdiri sebagai perwujudan Gereja”. Saat itu dan untuk seterusnya, perkawinan menjadi indah ketika anugerah Allah dianugerahkan kepada kedua pasangan melalui sakramen yang mengikat dan menyucikan. Sebab, di dalam Kitab Suci tertulis bahwa manusia sama seperti Kristus yang adalah kepala Gereja, sehingga setiap laki-laki adalah kepala seorang perempuan, karena suami adalah kepala istri sama seperti kristus adalah kepala jemaat (Efesus 5:23).[12]
Perkawinan katolik yang monogam (unitas) juga mengharuskan sekaligus menegaskan adanya nilai pengorbanan antar suami-istri. Suami diharuskan mengorbankan dirinya bagi sang istri, sama seperti Yesus adalah kepala Gereja dengan mengorbankan diri-Nya dan menumpahkan darah-Nya. Kehendak pribadi harus dilupakan demi kasih terhadap sang kekasih. Istri berhubungan dengan suami dengan cara yang sama seperti Gereja berhubungan dengan Yesus melalui kasih, pelayanan, dan pengabdian. Sementara suami bertindak sebagai kepala seorang perempuan, sama seperti Kristus bertindak sebagai kepala atas umat-Nya. Dengan demikian yang terjadi dalam perkawinan yang monogam (unitas) adalah pengorbanan bukan penguasaan, kekerasan atau pun kebencian antar suami-istri.[13]
Tentang indissolubilitas (sifat tak terputuskan), secara teologi adalah alasan lain yang lebih ilahi mengapa perkawinan orang Katolik yang sudah dibaptis tidak bisa diceraikan. Alasannya ialah perkawinan melambangkan sesuatu yang tidak dapat diceraikan, suatu ikatan persekutuan yang kekal antara Allah dan Gereja. Saat turun ke dunia dengan mengambil rupa seorang manusia yang bertumbuh dan berkembang dalam Gereja sebagai Tubuh Mistik-Nya, Yesus tidak melaksanakan karya-Nya hanya selama tiga tahun, tetapi untuk selama-lamanya! Seorang suami mengambil istri seperti Kristus mengambil Gereja sampai kematian datang memisahkan. Untuk melambangkan persatuan dan persekutuan yang tetap utuh hingga kekal antara Kristus dan Gereja, pasangan suami-istri harus saling mengasihi sampai mereka dipisahkan kematian.[14]
Menghayati dan merealisasikan perkawinan yang monogami dan indissolubilitas adalah sebuah keharusan dalam ikatan perkawinan. Sebab dengan itu, suami-istri dihantar menikmati indahnya perkawinan dalam Gereja. Didalamnya kepercayaan menjadi satu ikatan kekal terkait masa depan. Jiwa mengetahui bahwa ikatan itu tidak bisa diselamatkan jika tidak ada kepercayaan di antara pasangan, terutama saat-saat mengalami pencobaan. Sebagaimana Allah tidak meninggalkan Gereja-Nya, demikian pula kasih seorang suami tidak akan pernah meninggalkan pasangannya. Kasih suami-istri diungkapkan kepada dunia sebagai suatu relasi yang lebih agung, yaitu relasi antara Kristus dan mempelai-Nya, Gereja yang penuh sukacita dan damai.[15] Karena itu, perkawinan Katolik bagi pasangan yang sudah dibabtis sungguh merupakan suatu perkawinan yang indissolubilitas sampai selama-lamanya.
Peran Dewan Tribunal Gereja Dalam Mensejahterakan Perkawinan
Tribunal Gereja merupakan suatu lembaga peradilan di dalam Gereja Katolik yang berwenang menangani banyak perkara dalam Gereja, yang pembentukan dan pelaksanaannya diatur oleh Hukum Gereja Katolik (Kitab Hukum Kanonik). Lembaga ini merupakan tempat diupayakannya penyelesaian suatu perkara menurut ketentuan hukum gerejawi. Perkara yang dimaksud berkenaan dengan keadilan, penuntutan hak, pemenuhan kewajiban, serta akibat yuridis yang menyertainya. Hal ini merupakan wujud/bentuk pelaksanaan konkrit kuasa yudisial yang dimiliki Gereja atas hal – hal yang berkenaan dengannya dan pelanggaran terhadap Hukum Gereja[16].
Sebelum membahas tentang perannya dalam mensejahterakan perkawinan Katolik, terlebih dahulu dijelaskan tentang struktur keanggotaan dewan tribunal gereja. Adapun struktur keanggotaanya adalah sebagai berikut. Pertama, Index atau Hakim, tugasnya adalah mengambil keputusan objektif berdasarkan fakta-fakta yang ada dan sekaligus memproses kasus. Ada dua jenis hakim yakni: hakim tunggal yakni apabila di dalam dewan tribunal hanya ada 1 hakim (klerus), dan hakim kolegial yang anggotanya lebih dari satu dan jumlahnya selalu ganjil. Kedua, Defensor Vinculi (Pembela ikatan suci), tugasnya adalah membela ikatan suci (Perkawinan, tabisan suci, dan kaul kekal publik) supaya jangan sampai terjadi pemutusan. Anggotanya adalah klerus yang mengetahui hukum.
Ketiga, Advocatus (Pembela) tugasnya adalah sebagai pendamping untuk pihak-pihak yang bermasalah. Yakni mulai dari pihak pemohon (yang mengajukan gugatan) atau pihak penggugat (pars attrix) dan, dari pihak responden atau tergugat (pars conventa). Anggotanya adalah klerus. Keempat, Notaris/Notulis, tugasnya ialah mencatat jalannya pembicaraan dalam persidangan kasus perkawinan. Jika tidak ada notaris maka persidangan bisa dikatakan catat. Tugasnya adalah juga membukukan tanda ontesitas (tanda tangan dan cap di setiap kertas), juga dalam praktek bisa berfungsi rangkap sebagai hakim. Kelima, Promotor Institiae, adalah penegak keadilan dalam Gereja, anggotanya adalah klerus. Keenam, Auditor, adalah orang yang secara khusus ditunjuk untuk mengadakan penyelidikan pada tahap awal yaitu tahap pengumpulan bukti-bukti.
Dengan struktur keanggotan dewan tribunal gereja yang sistematis, maka adapun peran dewan tribunal gereja dalam mensejahterakan perkawinan Katolik adalah sebagai berikut: Pertama, Dewan Tribunal Gereja, khususnya tribunal perkawinan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan Gereja Partikular karena termasuk salah satu bentuk pelayanan hukum dan pastoral bagi umat beriman di keuskupan. Dalam praksis pelayanan Tribunal perkawinan keuskupan, para hakim berusaha untuk memberikan pelayanan bagi umat yang mengalami persoalan hukum dalam hidup perkawinannya, dengan harapan mereka mendapatkan solusi yuridis yang memungkinkannya mendapat haknya sebagai warga Gereja (sejauh dimungkinkan oleh hukum). Pelayanan yuridis ini harus sesuai dengan prosedur hukum, khususnya sebagaimana diatur dalam norma – norma umum[17] dan norma-norma prosedural[18].
Kedua, Dewan Tribunal Gereja, khususnya Tribunal Perkawinan Keuskupan bertugas untuk mewujudkan fungsi dan tujuan Gereja, menjaga dan melindungi martabat perkawinan (dignitas matrimonii), kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) dan kebaikan Gereja (bonum ecclesiae) secara umum. Berkenaan dengan martabat perkawinan yang berumuara pada kesejahteraan suami-istri, Dewan Tribunal gereja mengupayakan terpeliharanya keutuhan ajaran iman dan moral Gereja tentang hakikat, ciri hakiki dan tujuan perkawinan. Hakikat perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae). Ciri hakiki perkawinan adalah kesatuan dan ketidak – dapat – ceraian (unitas et indissolubilitas). Sedangkan tujuan perkawinan adalah kebaikan suami istri, kelahiran dan pendidikan anak.
Ketiga, untuk kesejahteraan suami istri, Dewan Tribunal Gereja mengupayakan penyelesaian kontroversi antara hak dan kewajiban suami istri secara timbal balik. Kontroversi yang sering terjadi adalah hal pemberian dan penerimaan diri, dukungan dan jaminan akan persamaan derajat, eksklusivitas hubungan dan kemantapan atau keberlangsungan hubungan. Berkenaan dengan kebaikan Gereja, Dewan Tribunal Gereja mengupayakan terciptanya tatanan hidup bersama yang harmonis dan terhindarkannya skandal dalam perkawinan.
Keempat, konkritnya, Dewan Tribunal Gereja berupaya menyelesaikan kontroversi yang biasa terjadi, yaitu pelanggaran atas nilai – nilai atau norma perkawinan yang benar, baik dan indah bagi masyarakat, menghindarkan skandal berarti mencegah timbulnya keheranan, pertanyaan atau kebingungan atas suatu pelanggaran yang terjadi dalam komunitas gerejawi atau masyarakat umum[19]. Sehingga dengan demikian kesejahteraan perkawinan katolik senantiasa berlangsung dalam kasih dan hukum-hukum Allah.
Penutup
Perkawinan katolik memiliki tiga hakekat: pertama, menghasilkan dan mendidik anak. Kedua, saling membantu dan mengisi di dalam cinta. Ketiga, unitas (monogam) dan indissolubilitas (sifat tak terputuskan). Ketiga hakekat ini merupakan dimensi interna dalam kehidupan perkawinan. Maka, pasangan suami-istri Katolik perlu memahami, menghayati dan merealisasikan ketiga hakikat ini, sebab pada dasarnya terciptanya kesejahteraan dalam hidup rumah tangga ditentukan oleh sejauh mana penghayatan dan perealisasian ketiga hakikat ini dalam kehidupan perkawinan.
Selain itu, kesejahteraan kehidupan perkawinan juga perlu dibina dan dibimbing dari sisi eksternal. Dalam hal ini, peran dewan tribunal Gereja merupakan keharusan mutlak. Dewan Tribunal Gereja dapat berperan melalui fungsi dan tugas mereka. Sejauh fungsi dan tugas mereka terlaksana secara baik, dengan landasan yang kokoh, sistematis dan penuh perhatian, maka kehidupan perkawinan Katolik senantiasa berjalan pada koridor-koridor kesejahteraan. Dengan sisi internal dan eksternal ini, diharapkan pasangan suami-istri katolik dapat menampilkan wajah yang sejahtera, bahagia, dan harmonis dalam hidup rumah tangga dan dalam hidup bermasyarakat sepanjang hayat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Dokumen Gereja
Jerabus Pino. Diktat Bahan Kuliah Sakramentologi Sekolah Tinggi Pastoral St. Paulus Ruteng 2013.
Kitab Hukum Kanonik, Dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II, Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia 2016.
Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja “Lumen Gentium” dalam R. Hardawiryana (penerj.), Jakarta: Obor 1998.
SVD, Heinz Peschke Karl. Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero 2003.
Sheen, J, Fulton. Hidupmu Layak Dihidupi (Filsafat Hidup Kristiani), Yogyakarta: Kanisius, 2021.
Skripsi dan Jurnal
Kancak Lelek, Meikel Kkliks. Perkawinan Yang Tak Terceraikan Menurut Hukum Kanonik. Jurnal Lex et Societas. II-3-2014.
Nasution, Tamaris Misael. Skripsi Kedudukan Perceraian Melalui Putusan Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Menurut Gereja Katolik. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2016.
Pratomo, Aji Bimo. Asas Monogam Pada Hukum Perkawinan Islam Dan Hukum Perkawinan Agama Katolik. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2016.
[1] Meikel Kkaliks Leles Kancak, “Perkawinan Yang Tak Terceraikan Menurut Hukum Kanonik” dalam, Jurnal Lex Et Societatis, Vol. II. No. 3 April 2014, p. 83-84.
[2] Ibid.
[3] Karl-Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi, (Maumere: Ledalero, 2003), p. 326-334.
[4] Bdk. Gaudium et Spes, artikel 48, p. 569
[5] Kitab Hukum Kanonik, kanon 1136.
[6] Bdk. Gaudium et Spes, artikel 48, p. 569-572.
[7] Bdk. Gaudium et Spes, artikel 50, p. 573-575.
[8] Kitab Hukum Kanonik, kanon 1135.
[9] Kitab Hukum Kanonik, kanon 1056.
[10] Gaudium Et Spes, artikel 49, p. 571.
[11] Ibid.
[12] Fulton J. Sheen, “Hidupmu Layak Dihidupi (Filsafat Hidup Kristiani), Yogyakarta: Kanisius, 2021, p. 329.
[13] Ibid., p. 330
[14] Ibid.
[15] Ibid., p. 331.
[16] Kitab Hukum Kanonik, kanon 1401.
[17] Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 1055 dan 1165.
[18] Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 1671 dan 1716.
[19] Misael Tamaris Nasution, “Kedudukan Perceraian Melalui Putusan Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Menurut Gereja Katolik”. (Skripsi)Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2016. Halaman 130.