Adrianus Seran: Filsafat dari Dapur Jagung

jika seorang filsuf sejati adalah ia yang mampu menafsir dunia, maka seorang wirausahawan sejati adalah ia yang berani mengubahnya. Setidaknya, mulai dari sebutir jagung.

Di balik tembok ruang kuliah filsafat yang sunyi, Adrianus Seran menyalakan bara kecil dari dapur sederhana. Mahasiswa semester I Program Studi Filsafat UNWIRA ini bukan hanya sibuk membaca Aristoteles dan Thomas Aquinas. Ia juga sibuk menggoreng jagung. Usaha kecil yang ia rintis bersama dua sahabatnya itu menjadi medan belajar tentang ketekunan, tanggung jawab, dan rasa syukur.

Mereka memulai dari hal paling dasar: menjemur biji jagung, meracik bumbu dengan perhitungan cermat, lalu menggoreng hingga beraroma gurih menggoda. Adrian bertugas memastikan semuanya berjalan rapi dari proses pemasakan sampai pengemasan yang sederhana namun bersih. Mereka menjualnya di lingkungan kampus dan ke teman-teman kenalan dengan harga terjangkau, yakni Rp1.000 untuk kemasan kecil, dan Rp10.000 untuk ukuran besar.

Bagi Adrian, ini bukan sekadar usaha kecil-kecilan. Dari setiap butir jagung yang digoreng, ia belajar tentang makna konsistensi. Ada saat jagung gosong, ada saat keuntungan tak seberapa, tetapi justru di sanalah ia menemukan filsafat kerja keras yang nyata, bahwa hasil tidak akan pernah mendahului proses.

Bagi Adrian, usaha kecil ini bukan sekadar jalan mencari rupiah, tetapi ruang belajar untuk mengenal arti syukur dan kepekaan terhadap sesama. “Harapan saya untuk usaha yang sedang saya jalankan semoga tetap lancar, dan saya bisa terus rendah hati untuk berkembang,” ujarnya lirih. Ia menyadari bahwa hasil dari kerja tangannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga menjadi berkat bagi orang lain. Ia bisa membantu teman yang meminta tolong, sekaligus meringankan kebutuhannya sehari-hari. Dari setiap bungkus jagung yang terjual, ia belajar tentang makna berbagi dan menghargai proses. Di situlah filsafat kehidupannya tumbuh: bahwa rezeki bukan hanya soal mendapat, tetapi tentang memberi. Bukan soal besar kecilnya keuntungan, melainkan ketulusan untuk bekerja dengan hati yang tetap sederhana.

Adrian ingin usahanya terus tumbuh, bukan hanya agar untung, tetapi agar hidupnya sendiri berakar pada kemandirian. Ia percaya, jika seorang filsuf sejati adalah ia yang mampu menafsir dunia, maka seorang wirausahawan sejati adalah ia yang berani mengubahnya. Setidaknya, mulai dari sebutir jagung. (Fr. Alex Jolong)