Pendahuluan
Tujuh puluh lima tahun adalah sebuah rentang panjang yang menyimpan lapisan kisah: doa-doa yang terucap di kapel kecil, langkah-langkah para seminaris yang belajar mencari arah panggilan, juga kerja sunyi para formator yang mengabdi tanpa pamrih. Seminari Lalian, sejak awal berdirinya, hadir bukan sekadar sebagai tempat belajar, melainkan sebagai rumah yang menyiapkan para gembala bagi Gereja di tanah Timor. Ia berdiri di tengah masyarakat sederhana, yang hidup dari tanah, dari keringat, dan dari harapan, dan karena itu sejak awal ia dipanggil untuk tidak terpisah dari denyut kehidupan umatnya.
Namun usia 75 tahun tidak hanya menghadirkan rasa syukur. Ia juga menuntut pertanyaan baru: apakah Lalian masih setia pada misinya? Apa artinya menjadi “benteng martabat manusia” di tengah kenyataan yang kerap melukai martabat itu sendiri? Pertanyaan ini muncul karena realitas di sekitarnya berbicara dengan lantang. Kemiskinan tetap mencengkeram begitu banyak keluarga. Migrasi tenaga kerja menjadi jalan keluar yang sering kali terpaksa, menimbulkan luka dan keretakan. Pernikahan dini masih merampas masa depan anak-anak, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya menghancurkan tubuh serta jiwa. Semua ini bukan sekadar isu sosial yang jauh, melainkan pengalaman sehari-hari umat yang kelak akan dilayani oleh para imam yang kini ditempa di Lalian.
Dalam konteks inilah perayaan jubelium 75 tahun menjadi kesempatan refleksi yang serius. Lalian bukan sekadar institusi yang berdiri untuk dirinya sendiri, melainkan tanda kehadiran Gereja di tengah masyarakat. Bentuknya sebagai “benteng” tidak boleh dipahami sebagai tembok yang menutup diri, melainkan sebagai tempat perlindungan yang memberi rasa aman, ruang belajar yang memampukan orang berkembang, dan pusat penguatan yang membuat martabat manusia kembali ditegakkan.
Syukur atas rahmat perjalanan panjang ini harus berjalan seiring dengan tanggung jawab untuk menanggapi zaman. Seminari hanya akan benar-benar relevan jika formasi yang dijalankan mampu melahirkan imam yang menghidupi martabat manusia, imam yang sanggup menghubungkan altar dengan jalanan, doa dengan realitas, iman dengan keberanian sosial. Maka, ketika kita berbicara tentang 75 tahun Lalian, yang sedang dirayakan bukan hanya sejarah yang sudah berlalu, melainkan juga janji untuk masa depan: janji untuk tetap menjadi benteng martabat manusia dalam dunia yang terus berubah.
Martabat Manusia sebagai Inti Panggilan
Di jantung setiap karya Gereja, selalu ada satu kebenaran yang tidak boleh dilupakan: manusia adalah gambar Allah, imago Dei. Dari sinilah seluruh pemahaman tentang martabat bermula. Seminari, dengan seluruh tradisi doa, studi, dan disiplin yang dijalankan, sejatinya bukan hanya mencetak imam sebagai pejabat liturgi, melainkan membentuk pribadi yang mampu melihat martabat ini pada dirinya sendiri dan pada setiap orang yang kelak ditemuinya. Tanpa kesadaran ini, formasi mudah terjebak dalam formalitas; imam bisa pandai berkhotbah, terampil memimpin ritus, tetapi kehilangan kepekaan pada manusia yang terluka.
Para Bapa Gereja sejak awal menegaskan bahwa martabat manusia adalah anugerah yang tak tergantikan. Agustinus melihat bahwa dalam diri manusia terdapat kapasitas untuk mengenal dan mengasihi Allah, suatu cermin kecil dari Sang Pencipta. Thomas Aquinas kemudian menekankan bahwa martabat itu tidak berhenti pada status, melainkan panggilan yang dinamis: manusia diarahkan untuk terus bertumbuh menuju kebaikan tertinggi. Dalam kerangka ini, pendidikan seminari adalah perjalanan untuk mengenali dan menghidupi panggilan tersebut, sehingga setiap frater dibentuk menjadi pribadi yang matang, yang mampu menjaga dirinya sekaligus membela orang lain.
Martabat manusia juga tidak berhenti pada ranah teologis. Ia memiliki gema dalam akal budi dan moralitas universal. Hukum kodrat, yang diulas Aquinas, menegaskan bahwa setiap manusia, tanpa kecuali, memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang merusak. Karena itu, ketika kemiskinan merampas kebebasan, ketika migrasi paksa memisahkan keluarga, ketika perkawinan dini mengorbankan masa depan anak, atau ketika kekerasan menghancurkan tubuh dan jiwa, semua itu bukan sekadar masalah sosial, melainkan pelanggaran martabat yang paling mendasar. Seorang calon imam dipanggil untuk peka terhadap kenyataan ini, bukan hanya dengan belas kasihan, tetapi juga dengan sikap profetis yang berani.
Ajaran sosial Gereja memberi kerangka yang lebih konkret. Konsili Vatikan II mengingatkan bahwa martabat manusia menemukan kepenuhannya dalam Kristus yang menjadi manusia. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa “jalan Gereja adalah manusia.” Dan Paus Fransiskus menambahkan bahwa persaudaraan universal hanya mungkin jika martabat setiap pribadi dihormati tanpa kecuali. Semua ini memberi pesan jelas: seminari bukanlah menara gading, melainkan ladang latihan untuk melihat wajah Kristus dalam kaum miskin, migran, anak-anak yang rapuh, dan korban kekerasan.
Karena itu, inti dari panggilan yang ditempa di Lalian bukan sekadar menjawab kebutuhan internal Gereja, melainkan menyelami misteri martabat manusia yang nyata di tengah dunia. Martabat inilah yang menjadi kompas bagi setiap imam yang diutus, agar pelayanan mereka tidak kehilangan arah. Dalam terang martabat, formasi menemukan maknanya, dan dalam kesetiaan pada martabat, Gereja menemukan relevansinya.
Luka Sosial yang Mendesak
Martabat manusia yang begitu luhur sering kali justru tercabik di tengah kenyataan hidup sehari-hari. Di Nusa Tenggara Timur, luka itu tampak jelas dan sulit diabaikan. Kemiskinan masih menjadi wajah yang paling nyata. Angka statistik yang menyebut hampir dua dari sepuluh orang hidup di bawah garis layak tidaklah sekadar data, melainkan cermin dari dapur-dapur keluarga yang kosong, dari anak-anak yang berangkat sekolah tanpa sarapan, dari orang tua yang bekerja keras tanpa pernah keluar dari lingkaran kekurangan. Kemiskinan seperti ini bukan hanya soal kekurangan materi, melainkan penghinaan terhadap martabat, karena manusia dipaksa untuk sekadar bertahan, tanpa kesempatan berkembang.
Di sisi lain, migrasi tenaga kerja menjadi fenomena yang terus meningkat. Ribuan orang meninggalkan kampung halamannya demi mencari penghidupan di negeri asing. Banyak di antaranya berangkat dengan keterpaksaan, bukan kebebasan, dan di perjalanan itu martabat mereka kerap diperdagangkan. Kisah-kisah tentang buruh migran yang disiksa, ditelantarkan, bahkan dipulangkan dalam peti mati, adalah tanda bahwa martabat manusia dapat diperlakukan seolah hanya angka dalam pasar tenaga kerja global. Migrasi yang seharusnya bisa menjadi peluang justru sering berbalik menjadi luka yang mendalam, memisahkan anak dari orang tuanya, dan keluarga dari tanah airnya.
Luka yang lain muncul dalam bentuk pernikahan dini. Di banyak desa, anak-anak perempuan dipaksa menikah sebelum sempat menuntaskan sekolah, dengan alasan tradisi, ekonomi, atau rasa takut akan aib. Padahal, di balik itu tersembunyi perampasan masa depan: hak pendidikan hilang, kesehatan terancam, dan lingkaran kemiskinan makin mengeras. Pernikahan yang seharusnya menjadi perayaan cinta dewasa berubah menjadi jerat yang menutup ruang pertumbuhan. Di sinilah martabat anak-anak dipatahkan bahkan sebelum sempat mekar.
Yang paling sunyi sekaligus paling menyakitkan adalah kekerasan. Data menunjukkan ratusan ribu kasus dilaporkan setiap tahun, namun yang tak terlaporkan jauh lebih banyak. Kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terjadi di dalam rumah, di sekolah, bahkan di lingkungan masyarakat. Tubuh manusia yang seharusnya dihormati diperlakukan sebagai objek. Jiwa yang seharusnya dilindungi malah dipatahkan. Kekerasan semacam ini melukai martabat dalam bentuk yang paling telanjang.
Semua kenyataan ini memperlihatkan bahwa martabat manusia bukan hanya konsep indah dalam dokumen Gereja atau filsafat, melainkan medan pertempuran sehari-hari. Di sinilah relevansi seminari diuji. Bila formasi hanya berkutat pada teori, tudingan bahwa Gereja tidak relevan akan menemukan kebenarannya. Tetapi bila para calon imam dibentuk untuk berjumpa langsung dengan wajah-wajah yang terluka ini, maka formasi akan menemukan denyutnya, dan Gereja akan dipandang sebagai rumah yang hadir di tengah luka dunia.
Seminari di Persimpangan
Pada usia tujuh puluh lima tahun, Lalian berdiri di persimpangan sejarah. Ia membawa warisan panjang: doa yang tak terputus, disiplin hidup bersama, dan tradisi intelektual yang setia pada Gereja. Namun ia juga menghadapi dunia yang berubah cepat, dunia di mana penderitaan umat semakin nyata dan beragam. Di titik inilah Lalian harus memilih: tetap nyaman dalam pola lama, atau membuka diri pada tantangan zaman yang menuntut relevansi baru.
Persimpangan ini terasa tajam. Di satu sisi, ada kebanggaan pada tradisi yang telah menghasilkan banyak imam dan melayani Gereja di berbagai tempat. Tradisi itu adalah akar yang memberi kekuatan, sebab tanpa akar yang kokoh, pohon mudah tumbang diterpa angin. Tetapi di sisi lain, ada tantangan untuk tidak berhenti pada kebanggaan masa lalu. Gereja yang hidup selalu dipanggil untuk mendengar jeritan zaman. Seminari yang hanya sibuk menjaga rutinitas berisiko terjebak dalam menara gading, jauh dari kenyataan umat yang terluka.
Empat pilar formasi yang ditegaskan Gereja—manusiawi, rohani, intelektual, dan pastoral—dapat menjadi penuntun agar seminari tidak kehilangan arah. Di antara keempatnya, formasi manusiawi kini terasa paling mendesak. Dunia membutuhkan imam yang matang secara pribadi, yang peka pada penderitaan, dan berani berdiri di sisi mereka yang martabatnya direndahkan. Tanpa fondasi manusiawi yang kuat, doa bisa terdengar kosong dan ilmu bisa kehilangan daya guna.
Karena itu, seminari harus dilihat bukan hanya sebagai sekolah teologi, melainkan sebagai laboratorium kehidupan. Di dalamnya, para seminaris belajar menyatukan doa dengan kepedulian, liturgi dengan kepekaan sosial, dan studi dengan keberanian pastoral. Formasi harus memberi ruang bagi pengalaman nyata: mendampingi keluarga yang terjerat kemiskinan, menyapa buruh migran yang pulang dengan luka, mendengar kisah anak-anak yang dipaksa menikah, atau menemani korban kekerasan mencari pemulihan. Semua pengalaman ini adalah bagian dari pendidikan, sama pentingnya dengan Pelajaran Bahasa Latin atau Kimia.
Risiko besar menanti jika seminari menutup mata. Imam-imam bisa lahir dari Lalian dengan kemampuan liturgis yang rapi, tetapi dengan hati yang dingin terhadap realitas umat. Saat itu terjadi, tuduhan bahwa Gereja tidak relevan akan sulit dibantah. Namun jika Lalian berani membuka pintunya, membiarkan para frater menyentuh luka dunia, maka ia akan melahirkan imam yang sungguh menjadi gembala: mereka yang tidak hanya berbicara tentang martabat manusia, tetapi juga melindungi dan memperjuangkannya.
Relevansi sebagai Kesaksian
Relevansi Gereja tidak lahir dari dokumen panjang atau pidato yang fasih. Relevansi diukur dari kesaksian nyata: sejauh mana Gereja hadir di tengah kehidupan umatnya. Di sinilah seminari menemukan ujian terbesarnya. Lalian hanya akan disebut relevan bila para imam yang lahir darinya benar-benar hidup bersama umat, merasakan luka mereka, dan membawa harapan dalam bentuk yang nyata.
Kesaksian seperti itu tidak dapat dibangun di ruang kelas semata. Ia lahir dari perjumpaan langsung dengan dunia nyata. Imam yang menghabiskan waktunya di kapel untuk doa pribadi harus juga tahu membaca angka kemiskinan dan mengerti artinya bagi keluarga sederhana. Imam yang memimpin Ekaristi dengan khidmat harus juga berani berbicara tentang pekerja migran yang kehilangan haknya. Liturgi yang indah akan menemukan makna lebih mendalam ketika disatukan dengan keberanian untuk terlibat dalam realitas umat.
Paus Fransiskus dalam Evangelii gaudium mengingatkan bahwa Gereja dipanggil untuk keluar, menuju “pinggiran eksistensial,” tempat di mana martabat manusia sering dilukai. Pesan itu relevan bagi Lalian. Seminari tidak boleh hanya menghasilkan imam yang piawai dalam bahasa teologi, tetapi juga imam yang bisa mendengar bahasa tangisan, bahasa hening orang miskin, dan bahasa getir mereka yang terpinggirkan. Itulah bahasa kesaksian yang akan membuat Gereja tetap hidup di mata umat.
Relevansi, pada akhirnya, lebih kuat dari argumentasi. Orang boleh tidak lagi percaya pada lembaga, tetapi mereka akan tetap percaya pada saksi yang hadir di tengah penderitaan. Gereja akan dipandang dekat bila imam-imamnya berjalan bersama orang kecil, bukan hanya berdiri di altar. Itulah sebabnya seminari harus dipandang bukan semata sekolah akademik, melainkan sekolah kesaksian: tempat frater dilatih untuk menjawab jeritan zaman dengan tindakan nyata.
Dalam kerangka ini, 75 tahun Lalian adalah kesempatan untuk memperbarui janji: bahwa formasi di sini tidak berhenti pada hafalan dogma atau kelulusan akademik, tetapi bermuara pada kesaksian hidup. Kesaksian itu yang akan membungkam tuduhan bahwa Gereja tidak relevan. Kesaksian itu juga yang akan menjadi tanda nyata bahwa benteng martabat manusia benar-benar berdiri di tengah dunia, melindungi dan memberi harapan.
Santa Maria Immaculata sebagai Pelindung
Nama bukanlah hiasan; ia adalah identitas dan doa yang dipanjatkan dalam kesunyian. Seminari Lalian berdiri di bawah perlindungan Santa Maria Immaculata, Bunda yang dikandung tanpa noda dosa. Nama ini menegaskan arah formasi: menjadi imam yang menjaga kemurnian panggilan, dan sekaligus menjadi pelindung martabat manusia yang sering dinodai dunia.
Maria adalah ikon martabat yang utuh. Dalam dirinya, Gereja melihat bukti bahwa rahmat Allah mampu mengangkat manusia ke dalam kemuliaan tanpa merampas kemanusiaannya. Ia adalah wajah yang bersih dari luka dosa, tetapi bukan berarti jauh dari penderitaan. Maria justru hadir di titik-titik paling getir: di kandang Betlehem, di pengungsian Mesir, di jalan menuju Kalvari, dan di kaki salib ketika Putranya wafat. Dari situ kita belajar bahwa kemurnian bukanlah pelarian dari dunia, melainkan keberanian untuk tetap setia di tengah penderitaan dunia.
Bagi Lalian, pelindung ini menjadi panggilan konkret. Formasi imam di sini harus meneladani cara Maria menjaga martabat: dengan kelembutan yang teguh, dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan, dan dengan keberanian untuk berdiri di sisi mereka yang terluka. Seperti Maria yang menyertai Yesus sejak awal hingga akhir, para imam yang dibentuk di Lalian dipanggil untuk tidak pernah meninggalkan umatnya—entah dalam suka maupun duka.
Di bawah naungan Santa Maria Immaculata, Lalian diajak untuk mengerti bahwa menjadi “benteng martabat manusia” berarti menjaga kehidupan dalam seluruh dimensinya: melindungi anak-anak dari pernikahan dini, mendampingi keluarga yang terpecah karena migrasi, menyuarakan keadilan bagi yang miskin, dan berdiri bersama korban kekerasan. Maria mengajarkan bahwa Gereja tidak boleh absen; Gereja harus hadir, sama seperti ia hadir di sisi Kristus.
Maka, setiap kali nama Santa Maria Immaculata disebut, ia menjadi pengingat sekaligus doa: agar Lalian tetap setia pada misinya, agar para frater berani meneladan kesucian Maria dalam keseharian, dan agar martabat manusia sungguh dijaga sebagai harta yang tak ternilai.
Penutup
Tujuh puluh lima tahun perjalanan Seminari Lalian bukan sekadar deretan tahun, melainkan kisah iman yang berakar dalam tanah Timor dan bertumbuh bersama umatnya. Dari generasi ke generasi, tempat ini telah melahirkan imam-imam yang setia melayani. Namun setiap ulang tahun besar bukan hanya alasan untuk merayakan, melainkan juga kesempatan untuk bertanya ulang: masihkah Lalian setia pada panggilannya? Masihkah ia menjadi benteng martabat manusia di tengah dunia yang terus berubah?
Kenyataan di sekitar kita berbicara jujur. Kemiskinan masih menggenggam banyak keluarga. Migrasi menjadi pilihan yang sering melukai. Pernikahan dini merampas masa depan anak-anak. Kekerasan menghancurkan tubuh dan jiwa. Semua ini bukan sekadar isu, tetapi realitas yang menantang Gereja untuk hadir dengan wajah yang lebih manusiawi. Jika seminari hanya sibuk menjaga ritus tanpa menyentuh luka ini, tuduhan bahwa Gereja tidak relevan akan mudah terbukti. Tetapi bila formasi sungguh ditempa dalam kesadaran akan martabat, maka imam-imam yang lahir dari Lalian akan menjadi jawaban yang hidup.
Pelindung Santa Maria Immaculata memberi arah yang jelas. Seperti Maria yang menjaga kesucian dirinya sekaligus tetap hadir di tengah penderitaan Kristus, Lalian dipanggil untuk memelihara kemurnian panggilannya sambil setia berdiri di sisi umat yang terluka. Maria mengajarkan bahwa benteng bukan tembok untuk bersembunyi, melainkan ruang yang memberi perlindungan dan harapan.
Harapan untuk masa depan Lalian adalah sederhana sekaligus menuntut: agar doa dan data berjalan beriringan, agar liturgi dan aksi tidak terpisah, agar iman dan keberanian sosial saling menguatkan. Tantangan yang menanti juga besar: berani keluar dari zona nyaman, membuka telinga pada jeritan umat, dan menjadikan martabat manusia sebagai kompas utama dalam setiap langkah formasi.
Syukur atas 75 tahun perjalanan ini bukanlah titik akhir, melainkan pijakan untuk menatap jauh ke depan. Lalian dipanggil untuk tetap menjadi benteng yang hidup, benteng yang berdenyut bersama umatnya, benteng yang menjaga martabat manusia bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kesaksian nyata. Itulah warisan yang patut dijaga, dan itulah janji yang mesti terus dihidupi bagi generasi mendatang.
Mantap Romo
makasih pak admin