PETRUS SEBAGAI BATU DAN PRIBADI YANG RAPUH

  1. Sintesis Dialogis: Metafisika Aquinas dan Personalisme Wojtyła dalam Cahaya Petrus

3.1. Sebuah Antinomi yang Menyelamatkan: Menghindari Dua Ekstrem

Spiritualitas Petrus menyajikan sebuah antinomi eksistensial-teologis: ia adalah batu karang dan sekaligus pribadi yang menyangkal dan dipulihkan. Kedua sisi ini tidak dapat dikompromikan menjadi satu kesatuan monolitik, melainkan harus diakui dalam ketegangannya yang kreatif. Figur Petrus melambangkan Gereja yang teguh dalam kebenaran objektif, namun juga rapuh dalam kemanusiaannya.

Dalam hal ini, Thomas Aquinas menegaskan pentingnya unitas fidei—kesatuan iman yang berakar dalam struktur metafisik Gereja sebagai kehendak ilahi yang objektif.(Thomas Aquinas, n.d. S. Th. III, q.21, a.1.) Sebaliknya, Karol Wojtyła menyoroti kebebasan personal sebagai dasar perjumpaan dengan Allah dan sesama.(Wojtyła, 1979, pp. 63–65) Jika hanya mengikuti Aquinas, kita mungkin tergelincir pada legalisme struktural yang kaku; jika hanya mengikuti Wojtyła, kita bisa jatuh pada relativisme yang menjadikan pengalaman subjektif sebagai tolok ukur kebenaran. Maka diperlukan sintesis, bukan kompromi.

Petrus menjadi ikon dialektis dari sintesis ini. Ia mewakili fondasi institusional Gereja, tetapi juga wajah kemanusiaan yang rapuh. Keduanya dibutuhkan: struktur menjaga kesatuan; kelemahan membuka jalan bagi belas kasih.

3.2. Sinodalitas yang Utuh: Kebenaran Kokoh dan Solidaritas Lembut

Sinodalitas yang sejati bukan hanya berjalan bersama secara administratif, tetapi juga berakar dalam kebenaran dan berjiwa belas kasih. Paradoks Petrus menunjukkan bahwa sinodalitas harus mengintegrasikan:

  • Dimensi metafisik (Aquinas): Gereja dibangun atas dasar objektif kebenaran ilahi (Veritas), diikat oleh unitas fidei dan dijaga oleh primasi Petrus yang mewujudkan kehendak ilahi dalam struktur hierarkis.(Dulles, 1985, pp. 73–75)
  • Dimensi eksistensial (Wojtyła): Gereja adalah komunitas pribadi-pribadi yang saling menanggung, saling mengampuni, dan berjalan bersama dalam pengalaman cinta dan kerapuhan.(Witek, 2008)

Keduanya saling memperkaya: struktur menjaga arah dan stabilitas, sedangkan pengalaman eksistensial memberi jiwa dan kepekaan pastoral. Dalam konteks sinodalitas, ini berarti bahwa musyawarah Gereja harus menjunjung tinggi otoritas pewartaan kebenaran, sembari terbuka terhadap suara umat Allah yang beragam dan penuh luka.(International Theological Commission, 2018 art. 2.3–2.4.)

3.3. Pengharapan yang Diteguhkan: Dari Kerapuhan Menuju Kokoh dalam Kasih

Petrus bukan hanya simbol dari fondasi dan kerapuhan, tetapi juga ikon pengharapan Gereja. Dalam pandangan Aquinas, spes (harapan) adalah kebajikan teologis yang mengarahkan manusia pada bonum arduum futurum—kebaikan tertinggi yang belum terlihat, yaitu visio beatifica, penglihatan akan Allah.(Thomas Aquinas, n.d. S. Th. , II–II, q.17, a.1.)

Sementara itu, bagi Wojtyła, pengharapan adalah keberanian personal untuk menjawab cinta Allah, bahkan dalam kondisi jatuh atau ditolak.(John Paul II, 1998, Articles 33–34) Maka, spiritualitas Petrus menyatukan dimensi eskatologis dan eksistensial pengharapan: bahwa Gereja tidak dibangun oleh kesempurnaan, tetapi oleh kasih yang membangkitkan yang jatuh, dan menjadikan yang rapuh sebagai dasar yang kokoh.

Dalam sinodalitas, hal ini berarti bahwa Gereja tidak boleh menyingkirkan suara yang lemah, yang kecil, atau yang bergumul. Justru dari merekalah Gereja belajar untuk berharap. Sinodalitas yang tidak memberi tempat bagi yang rapuh adalah sinodalitas tanpa jiwa. Namun sinodalitas tanpa fondasi ilahi juga kehilangan arah. Spiritualitas Petrus adalah jalan tengah yang menyelamatkan: kuat dalam iman, rendah hati dalam kelemahan, dan penuh harap dalam kasih.

PENUTUP

Refleksi atas figur Santo Petrus mengungkapkan sebuah sintesis teologis yang esensial bagi Gereja di era sinodal: bahwa antara struktur ilahi yang kokoh dan kerapuhan manusia yang penuh pengharapan, tidak terdapat jurang yang tak terseberangi, melainkan ketegangan kreatif yang justru menopang hidup Gereja secara otentik. Melalui lensa Thomas Aquinas, kita memahami bahwa primasi Petrus berakar dalam kehendak ilahi dan menyediakan dasar metafisik bagi kesatuan Gereja. Sementara itu, melalui Karol Wojtyła, kita diingatkan bahwa martabat manusia terletak pada kebebasan untuk mencinta dan bertanggung jawab, bahkan dalam kerapuhan terdalam.

Paradoks Petrus—sebagai batu karang dan pribadi yang menyangkal—adalah ikon dari Gereja sendiri: rapuh namun diteguhkan, lemah namun tetap menjadi tempat berdiamnya rahmat. Dalam konteks sinodalitas, spiritualitas Petrus mengajarkan dua hal mendasar: bahwa kebenaran ilahi harus menjadi fondasi bersama (unitas fidei), dan bahwa setiap pribadi—bahkan yang lemah—harus diikutsertakan dalam perjalanan bersama (communio personarum).

Dengan demikian, sinodalitas bukan sekadar mekanisme musyawarah, melainkan bentuk spiritualitas Gereja yang berpijak pada dialektika antara struktur dan belas kasih, antara otoritas dan dialog, antara fondasi dan pengampunan. Tanpa Petrus, sinodalitas kehilangan arah; tanpa pengakuan atas kerapuhan Petrus, sinodalitas kehilangan hati.

Spiritualitas Petrus adalah jalan tengah yang menyelamatkan: sebuah via ecclesiae yang kokoh dalam iman, lembut dalam solidaritas, dan tak pernah kehilangan pengharapan.

DAFTAR PUSTAKA

Aquinas, T. (n.d.). Super Evangelium S. Matthaei Lectura (Komentar atas Injil Matius).

Dulles, A. (1985). The Catholicity of the Church. Clarendon Press.

Francis, P. (2018). Epistula ad Populum Dei.

II, P. J. P. (2003). Pastores Gregis (Apostolic Exhortation on Bishops).

International Theological Commission. (2018). Synodality in the Life and Mission of the Church.

John Paul II. (1998). Fides et Ratio. Libreria Editrice Vaticana.

Secretariat for the Synod of Bishops. (2021). Instrumentum Laboris: For a Synodal Church: Communion, Participation, and Mission.

Thomas Aquinas. (n.d.). Opera Omnia. Universitatis Studiorum Navarrensis. https://www.corpusthomisticum.org/iopera.html

Weigel, G. (1999). Witness to Hope: The Biography of Pope John Paul II. HarperCollins.

Witek, J. W. (2008). Personalist Philosophy and the Question of Human Nature. In A. Lekka-Kowalik & P. Skrzydlewski (Eds.), Karol Wojtyła’s Philosophical Legacy (pp. 49–66). Council for Research in Values and Philosophy.

Wojtyła, K. (1979). The Acting Person (A. Potocki, Trans.). D. Reidel Publishing.