Tantangan dan Upaya Merawat Nasionalisme

0 27

Pada 8-17 September 2019, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei tentang nasionalisme dalam masyarakat Indonesia. Survei yang melibat 1550 responden tersebut, menujukkan bahwa ada 66,4 persen masyarakat Indonesia senang menyebut diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sementara itu ada 19,1 persen masyarakat lebih senang menamakan dirinya sebagai penganut agama tertentu dan sisasnya 11,9 persen lebih senang diidentifikasi berdasarkan suku mereka.

Berdasarkan hasil survei di atas, patut diakui bahwa nasionalisme masih kuat dalam kalbu masyarakat Indonesia. Tentu saja ini merupakan hal yang baik dan patut dibanggakan, sebab hasil ini tidak terlepas dari usaha setiap elemen bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi, Indonesia tidak boleh cepat merasa puas dengan hal tersebut. Sebaliknya, nasionalisme adalah perjuangan tanpa akhir. Nasionalisme harus terus diperjuangkan dari waktu ke waktu, mengingat bahwa tidak sedikit pula tantangan yang datang baik dari luar maupun dari dalam negara yang mengacam nasionalisme.

Bertolak dari uraian di atas, tulisan ini pertama-tama akan menguraikan tentang pengertian nasionalisme. Selanjutnya akan diuraikan secara garis besar tentang sejauh mana sila ketiga Pancasila berbicara tentang nasionalisme. Setelah melihat arti dan makna nasionalisme, penulis akan menguraikan tentang tantangan yang dihadapi dalam upaya merawat nasionalisme. Dan pada bagian akhir penulis akan menguraikan bagaimana upaya-upaya untuk merawat nasionalisme.

Nasionalisme Selayang Pandang
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat dua pengertian nasionalisme. Pertama nasionalisme diartikan sebagai paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan. Kedua nasionalisme merupakan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa; semangat kebangsaan. Singkatnya, nasionalisme dapat diartikan sebagai rasa kecintaan terhadap negara dan rasa persatuan seluruh masyarakat sebagai suatu bangsa dan negara.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme

sekurang-kurangnya telah tercipta sejak masa penjajahan ratusan tahun yang lalu. Dalam perasaan senasib akibat penjajahan, Indonesia menyadari bahwa perlunya suatu persatuan untuk menghadapi bangsa penjajah. Dan puncaknya terjadi pada 28 Oktober 1928 di mana para pemuda saat itu dengan bulat suara menyatakan dan mengakui akan satu tanah air, yakni tanah air Indonesia, satu bangsa, yakni bangsa Indonesia dan satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Dalam Sumpah Pemuda tersebut, sekalipun sebagai suku terbesar di Indonesia, suku Jawa bersedia bahwa bukan bahasa Jawa melainkan bahasa Melayulah yang menjadi bahasa Indonesia. Hal ini tentu demi persatuan bangsa supaya jangan ada kesan Indonesia adalah Jawa Raya. Selanjutnya dalam usaha-usaha mempersiapkan kemerdekaan, tepatnya pada 1 Juni 1945, para pendiri bangsa sepakat bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Para penggagas kemerdekaan yang pada waktu itu adalah mayoritas Islam menyatakan kesediaannya untuk tidak diberi kedudukan khusus dalam republik yang baru akan diproklamasikan kemerdekaanya itu, demi menjamin kesamaan kedudukan setiap warga negara tanpa memebedakan menurut agama.

Nasionalisme dalam Sila Ketiga Pancasila
Dalam UUD 1945 alinea II dikatakan bahwa “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, adil dan makmur”. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka persatuan Indonesia memainkan peranan penting dalam perjuangan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan. Dengan kata lain, persatuan merupakan syarat mutlak tercapainya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hal ini diperkuat oleh sejarah di mana ketika perjuangan untuk bebas dari penjajahan masih bersifat kadaerahan, artinya masing-masing daerah berjuang sendiri melawan penjajah selalu kalah dan kembali dikuasai oleh bangsa penjajah.

Dari uraian di atas, patut diakui bahwa Soekarno dan para pendiri bangsa ini memikirkan konsep persatuan sebagai ungkapan nasionalisme untuk melawan penjajahan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun pasca proklamasi, imperialisme ternyata tidak hanya berasal dari kekuatan asing, melainkan juga berasal dari dalam bangsa Indonesia sendiri. Otto Gusti Madung dalam salah satu karyanya menuliskan bahwa korban-korban sejarah masa lalu seperti korban genosida 1965, penghilangan paksa pada awal reformasi 1997-1998 dan korban pelanggaran HAM lainnya pada rezim Orde Baru merupakan beberapa contoh kasus yang mencederai kesetaraan dan martabat manusia dalam konteks persatuan Indonesia.

Untuk itu, konsep persatuan dalam sila ketiga Pancasila tidak cukup dipahami sebagai suatu nasionalisme untuk melawan penjajahan asing, tetapi juga harus mengungkapkan solidaritas dengan para korban akibat kekejaman negara masa lalu. Hal ini mutlak perlu karena tanpa usaha serius untuk memenuhi hak-hak para korban akan berdampak pada usaha membangun nasionalisme. Nasionalisme tanpa keadilan adalah kemustahilan. Selain itu, akan berdampak pula pada impunitas bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan yang akan terus berlangsung.

Tantangan Nasionalisme Masa Kini
Merosotnya rasa kecintaan masyarakat Indonesia pada umumnya dan generasi muda pada khususnya terhadap bangsa dan negara Indonesia tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya, situasi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negara Indonesia. Franz Magnis-Suseno dalam salah satu karyanya menuliskan bahwa ada dua faktor penyebab merosotnya nasionalisme. “Nasionalisme dewasa ini digerogoti dari dua arah”, demikian tulis Suseno, “oleh globalisasi di satu pihak dan fundamentalisme ideologis dan religius di lain pihak”. Menurut Suseno, globalisasi menjadi tantanangan yang serius bagi nasionalisme karena globalisasi berkesan membuat identitas bangsa adalah sesuatu yang ketinggalan zaman. Sementara itu, para penganut (Zelot dalam bahasa Suseno) pelbagai ideologi dan fundamentalisme menyingkirkan segala keanekaan kekayaan nilai budaya dan kemanusiaan bangsa kecuali hal itu ditemukan dalam ayat-ayat kitab sucinya.
Akan tetapi, bagi Suseno, menganggap nasionalisme sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman merupakan suatu kekeliruan. Jika orang menemukan jati dirinya secara eksklusif hanya dalam satu dari sekian dimensi sosial, maka ia akan mengalami distorsi dalam kepribadiannya dan makin lumpuh dalam kemampuannya untuk berkomunikasi. Demikian pula dengan orang yang melihat segala sesuatu hanya dari kacamata agama, akan menjadi buta nilai karena yang mereka minati bukan apa yang menyatakan dirinya sebagai yang pantas diminati, melainkan apa yang diajarkan oleh agama. “Mereka bak orang yang sebelum berani mencium harumnya bunga mawar di pinggir jalan”, demikian tulis Suseno, “merasa perlu melihat dulu di buku pegangan apakah mencium bunga boleh atau tidak”.

Bagi bangsa dan negara Indonesia yang plural, nasionalisme memang merupakan hal yang sangat urgen. Andaikata nasionalisme mati, maka Indonesia juga akan mati dan sebagai negara Indonesia akan hancur. Karena bagaimanapun, hanya nasionalisme dan tak ada lain yang dapat mempersatukan ratusan etnik, suku dan komunitas, penganut beberapa agama yang hidup di atas ribuan pulau dari Miangas sampai pulau Rote, dari Sabang sampai Merauke.

Upaya Merawat Nasionalisme
Dalam judul bagian ini dikatakan upaya merawat nasionalisme dan bukan menciptakan nasionalisme. Term merawat mengandaikan bahwa nasionalisme itu masih ada di dalam kalbu masyarakat Indonesia. Lantas bagaimana memastikan bahwa di tengah kemajuan arus globalisasi yang kian tak terbendung dan fundamentalisme agama yang kian akut, nasionalisme masih ada? Terlepas dari hasil survei LSI sebagaimana diuraikan di atas, untuk menjawab pertanyaan di atas, maka perlu untuk melihat kembali bagaimana sikap masyarakat Indonesia dalam membawakan diri berhadapan dengan krisis yang berkepanjangan, keyataan bahwa tendensi-tendensi distingtif tidak meluas dan harapan rakyat kepada para pemimpinnya. Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka akan nampak bahwa nasionalisme masih ada dalam kalbu masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, bagi Franz Magnis-Suseno hal pertama dan utama yang perlu dalam upaya merawat nasionalisme ialah mengupayakan kepemimpinan nasional yang bermutu. Sejalan dengan itu, maka pembajakan nasionalisme demi menutup-nutupi aib para pemimpin yang berkuasa harus segera diakhiri, korupsi di lingkungan pemerintahan dan wakil rakyat harus diberantas tuntas, sebab pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi akan menghancurkan kredibilitas pembicaraan tentang nasionalisme. “Kita tidak perlu mengkhawatirkan rakyat”, demikian tulis Suseno, “masalah kita adalah elite (politik)”.
Menelisik lebih jauh pendapat Suseno di atas, maka jelas bahwa posisi Suseno dalam upaya merawat nasionalisme ialah urgensi kepemimpinan. Dalam hal ini, rasa-rasanya Suseno seperti berat sebelah. Seolah hanya dengan meningkatkan mutu kepemimpinan, tanpa usaha dari semua elemen bangsa termasuk rakyat, maka nasionalisme dengan sendirinya akan terawat dengan baik. Hemat penulis, dalam upaya merawat nasionalisme, pemerintah memang merupakan garda terdepan, namun usaha pemerintah saja tidak memadai. Seluruh elemen bangsa, pemerintah maupun rakyat seharusnya saling bekerja sama untuk merawat nasionalisme. Pemerintah dengan segala yang dapat dilakukannya, demikianpun rakyat dengan potensi yang dimilikinya.

Sejalan dengan itu, bela negara sebagai salah satu amanat UUD 1945 merupakan satu dari sekian upaya yang dapat dilakukan oleh semua elemen bangsa, termasuk rakyat. Bahkan dikatakan bahwa bela negara merupakan kewajiban sekaligus hak setiap warga negara. Dalam bela negara ada beberapa nilai nasionalisme yang dapat ditemukan, seperti: cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara dan mengakui Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pilar-pilar kebangsaan. Singkatnya, orang yang melakukan bela negara adalah orang yang mencintai bangsa dan negara Indonesia; orang yang nasionalis.

Penutup
Bagi bangsa dan negara Indonesia yang terdiri atas ratusan etnik, suku dan komunitas, penganut beberapa agama yang hidup di atas ribuan pulau dari Miangas sampai pulau Rote, dari Sabang sampai Merauke, nasionalisme adalah hal mutlak yang perlu dirawat. Sebab hanya nasionalisme yang mampu menyatakuan sekian banyak perbedaan tersebut. Adapun upaya merawat nasionalisme bukan tanpa tantangan. Globalisasi dan fundamentalisme ideologi dan agama merupakan dua dari sekian contoh tantangan dalam upaya merawat nasionalisme. Untuk itu, semua elemen bangsa, baik pemerintah maupun rakyat mestinya saling kerja sama untuk tetap merawat persatuan dan rasa kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Pemerintah dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemerintah, rakyat dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai rakyat. Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip kata-kata Franz Magnis-Suseno yang berbunyi demikian: “Persatuan (nasionalisme) bisa begitu kuat karena dengan menjadi Indonesia orang Bugis tidak harus kurang Bugis dan orang Sikka tidak kurang Sikka, orang Islam tak perlu mengurbankan sesuatu dari keislamannya dan orang Katolik tetap bisa seratus persen Katolik”.

Mario Yoseph Seran
61118038

 

 

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Paradigma, 2009)
Madung, Otto Gusti, Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi, (Maumere: Ledalero, 2017)
Magnis-Suseno, Franz, Kata Pengantar (dalam Otto Gusti Madung, Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi, (Maumere: Ledalero, 2017)
Magnis-Suseno, Franz, Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Persaudaraan dan Perdamaian, (Jakarta: Kompas, 2006)
Magnis-Suseno, Franz, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme (Bunga Rampai Etika Politik Aktual), (Jakarta: Kompas, 2015), hlm. 268-269.

Kamus dan Jurnal
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)
Widodo, Suwarno, Implementasi Bela Negara Untuk Mewujudkan Nasionalisme, (dalam jurnal Civis No 1, Vol 1 Januari 2011)

Internet
Kompas 03 November 2019, https://nasional.kompas.com/read/2019/11/03/17184761/survei-lsi-dibanding-identitas-keagamaan-dan-kesukuan-nasionalisme-rakyat, diakses pada 7 Oktober 2020.

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More