ROMO FRANSISKUS NAIKOFI DAN KEMANDIRIAN FINANSIAL PAROKI

Catatan dari Rm. Herman P. Panda

0 32

Rm. Fransiskus Naikofi mempunyai kiat tersendiri dalam meningkatkan kemandirian finansial Paroki untuk membiayai baik pembangunan gedung gereja maupun kegiatan pastoral lainnya. Menurut imam alumni Fakultas Filsafat tamatan 2008 ini, pada prinsipnya umat tidak boleh terbebani dengan biaya administrasi untuk pelayanan sakramen. Tetapi mereka perlu diajak untuk bersepakat tentang jumlah sumbangan yang mampu mereka berikan sesuai kondisi ekonomi mereka, asalkan secara rutin dan disiplin mereka jalankannya. Selain itu, kata Romo yang baru 7 bulan bertugas di paroki St. Fransiskus Xaverius Fatuoni ini, transparansi keuangan merupakan kunci membangun kepercayaan umat. Dengan transparansi, umat didorong untuk memikirkan sendiri tanggungjawab bagi kelancaran kegiatan paroki. Yang tidak kalah pentingnya menurutnya, adalah kerja dengan hasil yang nyata. “Ketika menyaksikan hasil kerja yang nyata, umat tidak enggan menyumbang bagi paroki”, ujarnya.

Rm. Fransiskus Naikofi, Pastor Paroki St. Fransiskus Xaverius Fatuoni, Keuskupan Atambua

Pada awal bertugas di Fatuoni, Romo Frans, sapaan akrabnya, mengadakan rapat dengan Dewan Paroki dan tokoh umat lainnya, untuk membicarakan selain program kerja pastoral, juga menetapkan jenis dan jumlah sumbangan umat. Dia menurunkan secara drastis biaya administrasi sakramen yang selama ini melambung tinggi, tetapi meminta umat berkonsentrasi pada dana untuk pembangunan gereja paroki dengan menyumbang seminggu sebanyak Rp. 10 ribu per kepala keluarga. Dengan strategi seperti itu, dia mampu mendongkrak kas paroki hanya dalam waktu empat bulan. Dan dalam tempo singkat, gedung gereja yang ketika ditinggalkan pendahulunya Rm. Maximin Amnanu baru tiang-tiang yang berdiri, kini sudah selesai diatapi dan tukang sedang pada tahap pemasangan kusen pintu dan jendela. Targetnya, Natal tahun ini sudah bisa digunakan sekalipun belum tuntas finishingnya. Untuk itu dia mendorong tukang untuk bekerja lembur. Betapa tidak! Kapela darurat yang digunakan sampai saat ini sebenarnya sudah tidak layak pakai. Selain lantai tanah yang membuat kursi dan bangku dengan mudah dipenuhi debu walaupun rutin dibersihkan, juga sudah tidak mampu menampung umat sehingga setiap hari minggu umat harus berdiri di luar dan kepanasan selama perayaan Misa.

Gedung Kapela, yang amat sederhana dan gedung baru yang sedang dibangun.

                Tetapi umat “Gereja sesungguhnya”, tetap ceria

 

Paroki ini, kata mantan Frater TOP di Halilulik 2008-2010 ini, sering dipandang sebagai paroki yang tertinggal, terbelakang dan miskin, tetapi sebenarnya umat memiliki potensi besar yang tinggal digerakkan. Ketika menyaksikan kemajuan pembangunan gedung gereja yang begitu cepat, umat semakin giat mengumpulkan dana pembangunan sehingga setiap minggu terkumpul rata-rata Rp. 12 juta. Uang kolekte pun yang merupakan sumbangan sukarela pada kotak kolekte setiap minggu, meningkat secara signifikan. Pada minggu 17 September, ketika penulis mengikuti misa hari minggu di paroki tersebut, diumumkan jumlah dana pembangunan sebanyak 50-an juta, sedangkan uang kolekte Rp. 35 juta.

Ada pula cara lain yang sedang diperjuangkan pria kelahiran 40 tahun lalu ini. Dia berpikir tentang alternatif mendapatkan dana untuk biaya operasional paroki. Pastor asal Bitauni TTU ini sebenarnya telah mempunyai pengalaman ketika masih sebagai pastor rekan di Paroki Besikama selama 10 tahun. Dia pernah membeli dua buah perahu buatan lokal yang dipercayakannya kepada anggota umat untuk menggunakannya menangkap ikan dengan system pembagian hasil yang disepakati. Awalnya bukan tujuan utama mencari uang melainkan cara mendekatkan diri kepada umat katolik yang bekerja sebagai nelayan dan nota bene “lupa kepada gereja” karena sibuk melaut. Hasilnya dia dapat menjaring para nelayan itu kembali aktif di Gereja. Rm. Frans menceriterakan tentang sepasang suami istri yang sudah tua, punya cucu tetapi belum berkat gereja walaupun mengaku sebagai umat Katolik. Berkat pendekatannya, pasangan tua itu dapat menerima sakramen perkawinan, sekaligus anak dan menantu mereka pun turut menerima pemberkatan nikah dan sekalian cucu-cucu dibaptis. Tetapi selain membantu pengelola perahunya mendapatkan nafkah, dari kedua perahu itu juga dia mendapat pemasukan bulanan sekitar Rp. 20-an juta. Hasilnya, sebagian dia gunakan untuk membiayai sekolah sejumlah anak SMA yang berasal dari keluarga tak mampu.

Ketika pindah di Fatuoni, Romo yang hidupnya amat sederhana ini, memikirkan usaha lain sesuai potensi wilayah paroki barunya. Dia berambisi menghilangkan gambaran tentang paroki Fatuoni sebagai paroki miskin dan terbelakang. Kini dia sedang mengelola tambak untuk peternakan ikan bandeng seluas dua hektar, dengan menggunakan tanah milik umat. Sistemnya juga bagi hasil dengan pemilik tanah. Hitung-hitung, membantu umat mendapatkan passive income, dari pada membiarkan tanah nganggur, ujarnya.  Dia sudah menabur benih ikan bandeng sebanyak 51 ribu, dan dia perkirakan dua bulan lagi bisa panen. Dari 51 ribu itu, seandainya mati 2000-an ekor maka dia masih memperoleh 49 000-an ekor yang bisa dijualnya. Menurut prediksinya, dia bisa mendapat 12,2 ton ikan bandeng dengan perkiraan satu kilo setara dengan empat ekor ikan. Bila dijualnya dengan harga paling murah Rp. 45 000 perkilo saja, padahal di pasaran Atambua menurutnya, Rp. 65 ribu per kilo, maka dari kalkulasinya, dia bisa memperoleh Rp. 500-an juta sekali panen. Untuk itu dia berani berinvestasi Rp. 60 juta untuk membangun tambak itu.

Tambak ikan bandeng dengan metode yang inovatif

Metode pembuatan tambaknya pun lebih baik dan menjanjikan hasil yang jauh lebih banyak dibandingkan metode yang biasa digunakan masyarakat setempat. Bila masyarakat setembat hanya mengandalkan air hujan yang menggenangi lahan tambak mereka sehingga hanya di musim hujan menabur benih ikan, Rm. Frans menggali parit selebar lebih dari dua meter dengan kedalaman satu setengah meter. Dengan metode itu, tanpa menunggu hujan, parit-parit yang digali itu dengan sendirinya terisi dengan air yang meresap dari laut yang berada sejauh seratus meter dari lahan tambaknya. Air itu sudah tersaring di tanah sehingga menjadi air payau yang cocok menjadi habitat ikan bandeng. Dengan cara ini, penyebaran benih ikan dapat dilakukan setiap saat sehingga pemanenan bisa terjadi lebih dari sekali dalam setahun. Metode yang dicobanya ini pun akan menjadi bagian dari cara mengedukasi masyarakat untuk memanfaatkan lahan tambak secara lebih efektif.  Good luck, Romo Frans.

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More