PENGAMPUNAN: SEBUAH KEBAJIKAN

Hari Minggu Biasa XXIV, Th. A. (Sir 27:30 – 28:9; Rom 14:7-9; Mat 18:21-35)

0 21

Bagi kebanyakan orang, sikap balas-dendam, menghukum sesama yang bersalah, bahkan menyaksikan kebinasaan para musuh dan lawan, merupakan semacam hobi yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan tersendiri. Karena itu, tidak heran, kalau banyak orang merasa sangat sulit bahkan mustahil untuk memaafkan atau mengampuni kesalahan orang lain, apalagi yang dianggap sebagai musuh dan lawannya. Kenyataan ini mau menunjukkan bahwa memaafkan dan mengampuni itu bukanlah hal/perkara yang sepele, sederhana dan gampang-gampangan. Selain kehendak yang kuat serta usaha/perjuangan yang tekun, serius dan terus-menerus dari pihak manusia, dibutuhkan juga daya/kekuatan ilahi, yang memampukan  manusia untuk memaafkan dan mengampuni. Mahatma Gandhi pernah berkata, “Orang lemah tidak pernah sanggup memaafkan atau mengampuni. Pengampunan dan maaf sesungguhnya adalah cirikhas orang kuat”. Dalam hal ini,  kenyataan berbicara, bahwa kebanyakan orang dewasa yang sering menganggap dirinya kuat, ternyata  sulit melupakan kesalahan orang lain, dan karena itu juga sangat susah untuk memaafkan/mengampuni. Sebaliknya, anak-anak kecil yang sering dianggap lemah, justru lebih gampang memaafkan/mengampuni. Mereka (kanak-kanak itu), bisa saja sering berkelahi dan berantem satu sama lain (bahkan sampai babak-belur), tapi dalam sekejap saja atau secepat kilat, mereka “melupakan” semua perseteruan itu, dan dapat bermain  bersama lagi sebagai sahabat-sahabat yang akrab, seakan-akan tidak terjadi perkelahian sebelumnya. Dalam hal ini, anak-anak yang sering dianggap lemah, ternyata lebih kuat dibandingkan dengan orang-tua atau orang dewasa yang sering menganggap diri kuat dan hebat. Dari kenyataan ini juga, untuk sementara kita bisa simpulkan bahwa kunci untuk memaafkan atau mengampuni adalah “gampang melupakan” kelemahan, kekeliruan, kesalahan, cacad-cela orang lain.

Bacaan-bacaan suci hari ini, khususnya Injil, secara jelas berbicara tentang pengampunan. Petrus, dalam petikan Injil hari ini bertanya, sampai berapa kalikah pengampunan bisa diberikan. Dan jawaban Yesus pada intinya mau mengatakan bahwa dalam pengampunan,  tidak perlu terlalu banyak dibuat perhitungan, tetapi terus melakukan saja. Kemudian Yesus menceritakan perumpamaan untuk menjelaskan mengapa sikap pengampunan itu perlu ditumbuhkan (ay. 23-35). Dengan itu, para pendengar setapak demi setapak dituntun untuk  semakin sadar,  mengapa sikap mengampuni dengan ikhlas itu perlu dan penting, yakni agar Kerajaan Surga itu semakin nyata. Ungkapan 7 kali dan 70 kali 7 kali, yang terdapat dalam pembicaraan antara Petrus dan Yesus, merupakan gaya bertutur orang-orang Yahudi, yang merujuk pada Kitab Kejadian (4:24) yang berbunyi: “Menghilangkan nyawa Kain akan mendatangkan balasan tujuh kali lipat, tetapi kejahatan terhadap nyawa Lamekh, keturunan Kain, bakal dibalas bahkan sampai tujuh puluh tujuh kali lipat”. Di sini, Kain yang telah membunuh Habel, adiknya, juga telah ditandai Allah, agar nyawanya tidak diganggu-gugat. Yang membunuhnya sebagai balas dendam malah akan kena hukuman balasan sampai tujuh kali lipat (Kej 4:15), maksudnya sampai penuh. Lamekh juga membunuh orang yang melukainya (Kej 4:23)  demi  membela diri, dan bukannya karena dengki seperti Kain. Karena itu,  siapa yang membalas dendam dengan mengakhiri nyawa Lamekh akan terkena hukuman yang tak terperi besarnya – tujuh puluh tujuh kali lipat – artinya, tanpa batas. Di balik ungkapan ini, tersirat ajakan bagi umat Allah Perjanjian Lama untuk membatasi kebiasaan balas-dendam yang cukup marak pada waktu itu (ingat: Kodex Hamurabi tentang mata ganti mata, gigi ganti gigi, dst.). Ajakan itu kini diangkat dan ditegaskan lagi oleh Yesus. Dengan mengatakan bahwa “bukan hanya 7 kali, melainkan 70 kali 7 kali”, Yesus sesungguhnya mau menegaskan bahwa pengampunan itu tidak terbatas. Dan pengampunan tak terbatas yang dimaksudkan Yesus itu bukan sekadar kutub lain dari ide yang mendasari ancaman hukuman balasan tak terbatas seperti seruan Lamekh tadi, tapi lebih dari itu, yang memungkinkan Kerajaan Surga itu semakin nyata di muka bumi ini. Dalam Sabda Bahagia antara lain disebutkan bahwa orang yang berbelaskasihan itu adalah orang yang berbahagia, karena mereka sendiri akan memperoleh belas kasihan (Mat 5:7). Ini berarti bahwa Kerajaan Surga itu akan terasa semakin nyata di muka bumi ini jika ada sikap belas-kasihan atau pengampunan satu sama lain.

Kutipan Injil hari ini juga memuat sebuah perumpamaan (ay. 23-35). Pada bagian pertama (ay. 23-27) digambarkan kebesaran raja yang pengampun terhadap hambanya yang tak dapat membayar hutangnya yang amat besar – 10.000 talenta. Dalam keadaan biasa hamba itu mesti dijual untuk menebus hutangnya, begitu juga anak dan istrinya serta seluruh harta miliknya. Tetapi ia meminta kelonggaran. Ia mohon agar raja bersabar. Dan sang raja tergerak hatinya dan malah menghapus hutang yang besar itu. Raja itu sanggup merugi karena mau sungguh-sungguh menunjukkan belas kasih terhadap hamba yang kesempitan itu.

Mungkin kita sering cepat-cepat menganggap raja itu ibarat Tuhan Allah yang berbelas kasih. Tapi pemahaman ini tidaklah terlalu tepat. Penginjil Matius sendiri memberi isyarat bahwa bukan itulah maksudnya. Pada awal perumpamaan itu, disebutkan Kerajaan Surga itu seumpama “seorang raja” (ay. 23). Dalam teks Matius dipakai ungkapan “anthropos basileus”, harfiahnya, “manusia yang berkedudukan sebagai raja” dan juga “raja yang tetap manusiawi”. Ungkapan itu mencerminkan gaya bahasa Semit dan “manusia” di situ berarti “seorang”, tidak penting siapa dia. Dengan demikian, mau  ditonjolkan bahwa tokoh yang bersangkutan. Itu adalah  orang, manusia seperti orang lain, sesama saudara, walau beda kedudukannya. Gagasan ini bisa diterapkan kepada siapa saja yang mempunyai kuasa atas orang lain. Jadi yang mau ditampilkan ialah kebesaran orang yang berkedudukan. Bahwasanya makin tinggi kedudukan seseorang,  makin patutlah ia menunjukkan kemurahan hati terhadap bawahannya, karena pada dasarnya mereka semua sama-sama manusia. Ini berarti juga bahwa semakin beruntung seseorang, semakin boleh diharapkan juga kesanggupannya untuk  merugi, kesanggupan untuk  kehilangan sebagian miliknya, sebesar apapun, agar membuat orang lain bisa ikut merasakan keberuntungannya. Di sinilah letak keluhurannya. Dari perumpamaan tadi, raja yang berbelas kasih itu memberikan piutang/pinjaman 10.000 talenta . Satu talenta nilainya antara 6.000 hingga 10.000 dinar. Dan satu dinar ialah upah buruh harian sehari. Maka sepuluh ribu talenta itu jumlah yang amat besar. Ini berarti bahwa semakin  seseorang beruntung, semakin diharapkan agar dia dapat menyelami keadaan orang yang sedang bernasib malang. Dengan demikian, setinggi atau sekaya apapun, orang tetaplah  sesama bagi orang lain. Tapi juga semalang apapun, seterpuruk apapun keadaan sosialnya, orang tetap bisa mengharapkan bantuan dari saudara yang lebih beruntung. Inilah yang bakal membuat Kerajaan Surga menjadi kenyataan di dunia ini. Inilah juga spiritualitas Injil Matius.Singkatnya, bagian pertama perumpamaan itu dimaksud untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Surga dibangun di atas dasar kesediaan mereka yang berkelebihan untuk berbagi dengan yang kurang beruntung. Dengan demikian, dimensi horisontal Kerajaan Surga digarisbawahi dengan jelas.

Selanjutnya, pada bagian kedua perumpamaan hari ini muncul gambaran yang berlawanan. Hamba yang dihapus hutangnya itu tidak mau meneruskan belaskasihan yang dialaminya kepada rekannya yang berhutang kepadanya seratus dinar saja atau hanya seperseratus dari hutangnya sendiri. Permintaan rekannya tak digubris. Bisa dillihat bahwa tindakan bersujud dan permintaan kelonggaran rekannya ini (ay. 29) sama dengan yang diucapkannya sendiri di hadapan raja majikannya tadi (ay. 26). Tetapi ia tetap tidak mau berbagi keberuntungan. Rekannya dijebloskannya ke penjara. Menyaksikan perlakuan kejam itu, rekan-rekan sekerjanya yang  lain menjadi sedih dan melaporkan kejadian itu kepada raja sang majikan hamba yang hutangnya sudah dihapus tadi. Di sini, para rekan sekerja ini bukan hanya sekadar tambahan cerita, melainkan berperan sebagai suara hati yang masih peka akan keadilan, peka akan kewajiban moral. Dan kepekaan ini menjadi keberanian bersuara untuk mengungkapkan ketidakberesan. Tapi hamba yang kejam tak mau melihat semua ini. Ia tak mau bertindak seperti tuannya. Akhirnya ia sendiri tersiksa sampai ia melunasi hutangnya yang amat besar itu. Yang menjadi kesalahannya ialah bahwa  ia menolak menjadi saudara bagi rekan sekerjanya sendiri. Dan lebih dari itu, ia juga menolak menjadi saudara bagi tuannya sendiri. Demikianlah nasib malang yang bakal dialami seseorang yang enggan atau tidak mau memaafkan, dalam arti tida rela menjadi saudara bagi sesamanya sendiri.

Dengan ini, kita teringat juga akan salah satu isi dari doa “Bapa Kami” yang berbunyi, “…..dan ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami….”. Ini berarti bahwa syarat  mendapatkan pengampunan dan belaskasih dari Allah Bapa ialah kesediaan kita untuk mengampuni, memaafkan dan berbelaskasih terhadap sesama yang bersalah kepada kita. Sangat sederhana, tetapi sekaligus sangat sulit. Karena ternyata bahwa manusia sering susah sekali untuk memaafkan dan mengampuni sesamanya sendiri yang bersalah kepadanya;  lebih cenderung menaruh amarah dan dendam kesumat terhadap orang lain yang menyakiti hatinya; apalagi yang sudah dianggap sebagai musuh dan lawannya sendiri. Karena itu, dalam kerjasama dengan rahmat Allah, hendaklah kita terus-menerus berjuang untuk menaruh belas kasih dan pengampunan terhadap sesama kita. Hendaknya kita juga terus belajar dari kanak-kanak, yang gampang melupakan kesalahan sesamanya, dan karena itu juga gampang menjadi sahabat dan saudara yang akrab bagi orang lain. Mudah-mudahan…Amin.

 

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More