Kembalinya Moralitas: Kontribusi Gagasan Civitas Dei St. Agustinus di Indonesia
Peter Tan

Pada hari Senin, 6 Februari 2023, Fakultas Filsafat Unwira Kupang memulai aktivitas perkuliahan dengan kuliah umum dan bedah buku bertajuk: “Kebenaran, Keadilan dan Kasih Menurut St. Agustinus dalam De Civitate Dei.” Buku yang ditulis Rm. Kornelis Usboko, L.Ph ini membahas dengan sangat padat dan bernas, tesis-tesis penting pemikiran St. Agustinus tentang kebenaran, keadilan dan kasih yang masih relevan. Apa kontribusi pemikiran Agustinus bagi situasi bangsa kita akhir-akhir ini?
Agustinus (354-430) adalah seorang teolog dan filsuf besar dalam Gereja. Dia berteologi dan berfilsafat pada abad ke-4, sebuah era yang dikenal sebagai dark times karena terjadi perang demi perang. Objek studi Agustinus adalah imperium Romawi, yang pada masa itu, bangkrut dan runtuh akibat serangan bangsa Vandal. Agustinus adalah orang pertama yang mengadakan survei tentang alasan mengapa imperium Romawi yang perkasa dan berkuasa bisa runtuh?
Hasil penelitiannya- yang berlangsung selama 13 tahun- dituangkan dalam buku De Civitate Dei. Dengan melihat konteks lahirnya tersebut, De Civitate Dei bukan karya filosofis atau teologis belaka melainkan juga suatu karya akademis yang berkontribusi bagi penelusuran sejarah, etika, politik dan kekuasaan. Untuk sebagian orang, Agustinus bukan saja filsuf dan teolog melainkan juga seorang historian dan politolog (ahli politik) klasik.
Pada waktu itu berkembang teori- yang lain menyebutnya tuduhan- bahwa orang-orang Kristen dan ajaran Kristiani adalah penyebab keruntuhan imperium. Agama Kristen mengajarkan cinta kasih terhadap musuh dan “berilah pipimu yang lain jika pipimu yang satu ditampar.” Ketika kekuasaan menuntut untuk membunuh, orang baik justru memeluk dan mencium musuhnya. Menurut teori ini, ketika virtue Kristiani menggantikan keutamaan imperium Romawi seperti keperkasaan, kelicikan, siasat dan keperkasaan, imperium terjungkal ke jurang krisis dan Roma jatuh. Teori ini tampaknya kembali muncul pada awal renaisans ketika Nicolo Machiavelli menulis The Prince. Bagi Machiavelli, keutamaan moral tidak penting untuk kekuasaan. Yang terpenting sebagai obat kekuasaan adalah keberanian, siasat, kelicikan, kebanggan, keperkasaan dan kekuatan. Dan persis ketika obat ini tidak bekerja, Roma runtuh.
Agustinus berupaya mematahkan teori tersebut. Menurutnya, keruntuhan Roma tidak disebabkan oleh berkurangnya kekuatan malahan terjadi di tengah kekuatan yang begitu besar. Bagi Agustinus, akar keruntuhan ini adalah tiadanya keadilan karena imperium dikawal oleh kekuasaan yang dipahami Agustinus sebagai libido nocendi (nafsu menyakiti orang lain) dan libido pricipandi (nafsu untuk memeras/korupsi) (Dhakidae, 2010). Dengan kata lain, bukan intervensi moralitas ke dalam institusi pemerintahan yang membuat imperium sebesar Roma runtuh melainkan justru krisis moralitas dalam tubuh imperium adalah akar kejatuhan tersebut. Karena itu, buku De Civitate Dei, selain sebagai karya filosofis dan teologis, juga adalah seruan etis Agustinus untuk mengembalikan moralitas ke dalam politik dan kekuasaan.
Kembalinya Moralitas
Agustinus memandang sejarah manusia sebagai sesuatu yang bergerak maju dalam satu tarikan garis lurus di dalamnya terjadi dialektika dan pertentangan tanpa henti antara kekuatan civitas dei dan civitas terrena. Civitas dei melukiskan kehidupan yang diwarnai iman, ketaatan, kasih sayang, kejujuran, keadilan, kebenaran dan cinta kasih. Civitas terrena sebaliknya ditandai oleh kesia-siaan, dosa, hawa nafsu, kejahatan, korupsi, perang dan ketidakadilan. Karena itu, civitas terrena juga disebut sebagai civitas diaboli. Perlu diingat bahwa civitas dei dan civitas terrena bukan kata benda atau keterangan tempat, melainkan kualitas, karakter, dan kata sifat. Agama, misalnya, meskipun menampung berbagai macam ajaran moral tentang yang baik namun jika dalam kenyataan menjadi sumber kejahatan, maka agama atau orang-orang beriman bukan civitas dei.
Pertentangan ini bisa dibaca baik sebagai pertentangan interior humane maupun eksterior humane. Sebagai interior humane, pertentangan antara yang baik dan jahat, adil dan sewenang-wenang, yang benar dan yang bohong, berlangsung di dalam batin dan hati manusia (Kornelis, 2022:34). Dengan kata lain, sebagai interior humane, pertentangan ini adalah kondisi eksitensial manusia. Sebagai eksterior humane, pertentangan ini berlangsung dalam masyarakat dan institusi-institusi sosial-politis.
Agustinus sungguh-sungguh memaksudkan pertentangan ini sebagai pertentangan antara dua jenis masyarakat manusia, yang berlangsung setiap hari sepanjang sejarah dan ruang hidup manusia antara masa kini dan parusia (akhir zaman). Pertentangan interior humane dan eksterior humane saling terkait. Agustinus optimis, pertentangan itu akan dimenangkan oleh civitas dei. Saya kira, gagasan Agustinus bisa disejajarkan dengan pandangan Marx yang hidup di abad ke-19. Sama seperti Agustinus, Marx juga melihat sejarah dialektika antara kekuatan keadilan dan ketidakadilan, emansipasi proletar dan eksploitasi kapitalis, meskipun Agustinus tidak menerangkan sejarah sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan ekonomi.
Bagaimana kemenangan itu bisa tercapai? Bagi Agustinus, kemenangan civitas dei atau transformasi dari civitas terrena/diaboli ke civitas dei akan terjadi jika setiap orang dan setiap institusi sosial-politik menghidupi moralitas yang terdiri dari tiga nilai pokok yaitu kebenaran sejati, keadilan sejati dan kasih sejati.
Pertama, Kebenaran. Kebenaran bagi Agustinus adalah “apa yang sungguh-sungguh nyata dan ada”. Kebenaran sejati bukan konstruksi pikiran belaka, sebab pikiran yang jauh dari kebenaran mudah memanipulasi kenyataan, menyatakan apa yang tidak ada atau menolak apa yang ada. Itulah kekeliruan. Kekeliruan tidak pernah bersifat kebetulan karena sama seperti kebenaran, dia merupakan actus intelek yaitu iudicium (putusan).
Dalam hubungan dengan kebenaran, Agustinus juga bicara tentang keraguan. “Dalam keragu-raguan universal tentang kebenaran amatlah perlu menyelamatkan keraguan itu sendiri.” (Kornelis, 2022: 55). Apa maksudnya?
Bagi Agustinus, keraguan penting untuk menemukan kebenaran. Siapa yang meragukan kebenaran pada saat yang sama menemukan kebenaran yang dia tidak ragukan lagi yaitu keraguan itu sendiri. Keraguan atau kekeliruan tidak menegasi subjek yang berpikir, melainkan menegaskannya. Karena itu, adagium terkenal dari Agustinus adalah “si enim falor, sum” (Kalaupun saya ragu, saya ada). Adagium-nya Descartes di abad ke-17, cogito ergo sum sebetulnya diinspirasi oleh perkataan Agustinus itu. Keduanya sama-sama ingin melawan kaum skeptik pada zaman masing-masing, tetapi kerangka filosofisnya berbeda. Descartes ingin membuktikan aku yang berpikir adalah substansi imaterial dan menjadi landasan seluruh bangunan filsafatnya, sedangkan Agustinus ingin membuktikan eksistensi diri dan Allah melalui laku meragukan.
Keadilan menurut Agustinus terkait dengan hak. Dia menghubungkan keadilan dengan hak: “iustitia porro ea virtus est quae sua cuique distribuit”(Keadilan adalah suatu keutamaan yang memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya). Gagasan tentang hak sebagai dasar keadilan tidak menjadi minat diskursus filsafat kontemporer. Filsuf politik AS, John Rawls, misalnya lebih melihat keadilan sebagai persoalan prosedural, sistem atau aturan distribusi yang adil atas keuntungan-keuntungan sosial-ekonomi. Bertentangan dengan itu, Agustinus justru memahami keadilan sebagai “kualitas moral manusia”. Apa gunanya undang-undang, sistem dan aturan yang adil jika manusia-manusia yang menjalankannya adalah para perampok dan penyamun? Agustinus berupaya mengembalikan diskursus keadilan benar-benar sebagai diskursus substansial tentang moral dan perilaku manusia, bukan sekadar prosedur yang beku dan kaku.
Kekuatan yang merangkum keadilan dan kebenaran adalah kasih. Kasih adalah perisai moral manusia dalam memenangkan pertarungan melawan yang jahat. Sebuah institusi dan masyarakat tanpa kasih tidak mungkin melakukan keadilan dan kebenaran.
Kontribusinya dalam Konteks Indonesia
Yudi Latif (2012:49) dalam buku Negara Paripurna menulis bahwa sepanjang sejarah hingga saat ini, bangsa ini tak pernah henti dihantam berbagai krisis. Menurutnya semua krisis ini berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Mengutip Mohandas Gandhi, menurutnya, ada tujuh dosa pokok bangsa ini yaitu politik tanpa prinsip/etika, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan doa tanpa pengorbanan. Inilah dosa-dosa pokok yang membuat bangsa ini menjadi civitas diaboli (kerajaan setan), atau pakai bahasanya Machiavelli, civitas rottisima (kota korup), atau almudun al-jahiliyyah (kota jahil) dalam bahasa Al-Farrabi.
Dalam upaya mengatasi krisis moralitas itu, ada beberapa kontribusi pemikiran Agustinus yang penting untuk kita diskusikan. Pertama, mengembalikan moralitas ke dalam politik. Praktek korupsi, penyalahgunaan jabatan, suap, perampasan sumber daya alam masyarakat kecil, dan penumpukan kekayaan pada segelintir elit adalah contoh krisis moral bangsa ini. Ini terjadi manakala urusan politik dianggap sebagai urusan kekuasaan dan pengejaran kepentingan belaka, atau apa yang disebut Agustinus sebagai libido nocendi dan libido principandi.
Dari perspektif Agustinus, korupsi adalah kejahatan yang berakar pada egoisme, dan egoisme sendiri adalah musuh utama keadilan. Tentang itu, dalam karyanya yang lain, confessiones (pengakuan-pengakuan), Agustinus menceritakan kisah dia mencuri buah pir tetangga. Padahal, begitu dia berkisah, buah pir di rumahnya lebih baik dan lebih banyak. Agustinus sungguh menyesal karena dia merampas milik orang bukan karena dia lapar atau kekurangan, melainkan justru pada saat dia sendiri memiliki segalanya dalam jumlah yang lebih banyak. Korupsi berakar pada kerakusan dan egoisme, dan kedunya musuh keadilan. Pemikiran Agustinus di satu sisi menjadi awasan bahwa sebuah bangsa bisa jatuh jika moral pemimpinnya tidak benar, dan di sisi lain, juga sebuah seruan dan ajakan untuk memperjuangkan keutamaan-keutamaan hidup baik dalam politik. Agustinus berkontribusi pada upaya mengawinkan kembali moralitas dalam politik.
Kedua, Agustinus mendefinisikan kebenaran sebagai “apa yang dilihat, apa yang sungguh-sungguh ada”, bukan angan-angan pikiran semata (ilusi). Di era teknologi informasi saat ini, kita menghadapi tantangan kaburnya batas antara yang benar dan salah, jujur dan bohong, asli dan palsu. Orang menyebutnya sebagai fenomena pasca-kebenaran. Dari sudut pandang gagasan Agustinus tentang kebenaran, ilusi masyarakat informasi saat ini bisa diselesaikan secara sederhana yaitu kembali kepada fakta, pada apa yang sungguh-sungguh ada.
Ketiga, pertentangan civitas dei dan civitas terrena dimaknai bukan semata-mata pertarungan kekuatan baik dan jahat dalam diri manusia atau insititusi sosial politik, melainkan juga suatu pemisahan tegas antara Gereja/agama (yang disimbolisasi oleh kota Allah) dan negara (yang disimbolisasi oleh kota manusia)—apa yang kemudian dikenal di Eropa abad ke-19 sebagai “sekularisasi”. Di samping kritik terhadap imperium Roma atau upaya mencari alasan kejatuhan imperium tersebut, perbedaan civitas dei dan civitas terrena justru bisa dibaca sebagai kritik terhadap teokrasi.
Pada masa itu, politik Romawi ditopang oleh pandangan teologis di mana penyembahan kepada dewa-dewa dianggap sebagai tindakan politis yang menjamin keutuhan negara. Kekuasaan seorang kaisar dianggap sebagai cerminan kekuasaan seorang dewa. De civitate dei adalah upaya Agustinus untuk mendemitologisasi politik dan menegaskan pemisahan antara agama dan politik, civitas dei dan civitas terrena, urusan eskatologis dan urusan sekular. Hal ini menarik jika kita memperhatikan bahwa bagi Agustinus, ruang antara masa kini dan parusia dalam sejarah perjalanan umat beriman adalah ruang yang disebut saeculum, sekular. Menurut Agustinus, dalam ruang ini, orang-orang beriman dan orang kafir dapat hidup berdampingan.
Intepretasi ini menarik karena bersentuhan dengan persoalan keberagaman di Indonesia. Bangsa ini selalu rusuh karena persoalan radikalisme agama, intoleransi dan upaya-upaya keras kepala untuk menjadikan negara demokrasi sebagai negara agama. Gagasan pemisahan civitas dei dan civitas terrena berkontribusi dalam upaya melindungi negara/hukum dari tirani fanatisme agama, sekaligus melindungi agama dari instrumentalisasi untuk kepentingan politik.
Keempat, kita juga mengalami krisis agama cinta yang membela kemanusiaan melampaui doktrin-doktrin religius. Ajaran Agustinus tentang cinta sebagai etika tertinggi yang bersumber pada sang maha cinta yaitu Allah sendiri, merupakan gagasan yang dibutuhkan ketika agama menampilkan dirinya sebagai sumber konflik dan alat kekerasan. Terorisme misalnya masih merupakan ancaman bersama bangsa ini hingga saat ini.
Kelima, gagasan Agustinus berkontribusi bagi terciptanya sebuah “republik Allah”. Republik Allah bukan republik teokratis melainkan sebuah republik yang dilandasi oleh nilai-nilai moral agama seperti kejujuran, kerendahan hati, kebenaran dan kebaikan. Mengapa republik seperti ini tidak tampak di Indonesia? Alasannya, iman yang kita tidak miliki tidak berpengaruh pada karakter dan moral publik kita. Agama terjebak dalam mistitisme semu dan ritualisme sehingga kehilangan substansinya. Agama kita bukan agama garam, melainkan agama gincu. Praktek hidup beragama semakin jauh dari substansinya karena mementingkan kegenitan penampilan lahiriah. Ini menyebabkan bahwa di negara yang menjunjung tinggi agama, kejahatan publik seperti korupsi bersarang. NTT, misalnya, katanya mayoritas Kristen, tapi NTT adalah salah satu provinsi terkorup di Indonesia. Orang-orang beragama tidak mampu menerapkan nilai-nilai moral agama sebagai landasan etika dan tingkah laku publik.
Gagasan Agustinus tentang keadilan, kebenaran dan cinta kasih menolak kemunafikan dalam praktek beragama. Hal yang sama juga disampaikan Paus Fransiskus. Menurut Paus, kita perlu waspada terhadap kesibukan rohani yang tidak mendorong orang membangun dunia melalui evangelisasi. Agustinus mendorong supaya nilai-nilai moral agama sungguh-sungguh berkontribusi bagi perubahan sosial. Doa-doa harus mendorong si pendoa sendiri atau umat beriman untuk merenungkan luka dunia dan melakukan perubahan. Lex orandi, lex credendi, lex convivendi: bagaimana kita berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga bagaimana kita hidup dan bagaimana kita hidup bersama. Kesalehan bukan sekadar bersifat privat melainkan publik. Orang saleh adalah dia yang mampu melakukan keadilan. Karena itu, saya berpendapat, civitas dei bukan sekadar keselamatan akhirat, melainkan proyek manusia di dunia ini dan saat ini- suatu proyek yang menuntut perjuangan dan usaha nyata baik secara personal maupun kolektif.***
