CORRECTIO FRATERNA

Minggu Biasa XXIII/A (Yeh.33 :7-9 ; Rom.13 :8-10 ; Mat.18 :15-20)

0 87

 

Saya mengawali renungan ini dengan sebuah kisah ilustratif. ”Konon, ada seorang nenek yang merayakan peringatan pernikahannya yang ke-50. Dalam sambutannya, dia menceritakan rahasia pernikahannya yang panjang dan bahagia. Katanya, “Pada hari pernikahan kami, saya memutuskan untuk membuat daftar sepuluh kesalahan suami saya yang, demi kebahagiaan dan langgengnya pernikahan, akan saya abaikan.” Lalu seorang tamu undangan bertanya kepada wanita itu, apa saja kesalahan-kesalahan suaminya yang telah dia pilih untuk diabaikan. Lalu si nenek itu menjawab, “Sejujurnya, saya tidak pernah sempat membuat daftar itu. Tapi setiap kali suami saya melakukan sesuatu yang membuat saya sangat marah, saya akan berkata pada diri sendiri, “Dia beruntung, karena itu adalah salah satu dari yang sepuluh itu”.

Bacaan-bacaan suci hari ini pada intinya berbicara tentang ‘kasih kepada sesama’, yang menyata dalam bentuk perhatian serta tanggungjawab terhadap orang lain, teristimewa kepada mereka yang lemah dan berdosa.

Dalam bacaan pertama, Allah berbicara kepada Nabi Yehezkiel bahwa ia harus menjadi “penjaga bagi kaum Israel,” yang berkewajiban untuk memperingatkan Israel tentang bahaya-bahaya moral. Jika Yehezkiel enggan atau lalai menyampaikan firman Allah yang bertujuan mengubah orang jahat, maka Allah akan menuntut pertanggungjawaban Yehezkiel atas kematian orang jahat tersebut. Hal ini disampaikan dalam konteks penjelasan dari pihak Allah mengenai peran seorang nabi dalam Perjanjian Lama. Nabi dalam hal ini adalah Yehezkiel, yang ditawan oleh Nebukadnezar dan dibawa dari Yerusalem ke Babel pada tahun 597 SM, bersama dengan Raja Yoyakhin dari Yehuda (Yehezkiel 1:1-3), dan sebagian besar bangsawan negara itu. Tuhan berbicara kepada nabi-Nya, “Engkau, hai anak manusia,…Aku telah menetapkan engkau sebagai penjaga bagi kaum Israel; ketika engkau mendengar Aku mengatakan sesuatu, engkau harus memperingatkan mereka atas nama-Ku.” Seperti seorang penjaga, seorang nabi ada hanya untuk kebaikan orang lain, dalam hal ini, mereka yang diasingkan bersamanya dari Israel ke Babel. Ia ada untuk menyampaikan firman Allah kepada mereka, menantang mereka, dan mengoreksi mereka dari waktu ke waktu, sehingga jika mereka tersesat, tanggung jawabnya akan menjadi milik mereka. Di sini, Yehezkiel mendapat perintah langsung dari Yahweh yang memberikan tanggung jawab kepada dirinya dan kepada umat, di mana tidak ada satu pun pengecualian ataupun keraguan yang diperbolehkan. Allah memerintahkan Yehezkiel untuk tetap setia pada misi kenabian-Nya, menghadapi orang-orang lemah dengan kelemahan mereka sendiri, sebagaimana diajarkan Tuhan Allah kepadanya.

Dalam bacaan kedua hari ini (Rm 13:8-10), setelah mendorong jemaat Kristen baru di Roma untuk taat kepada penguasa sipil yang sah, dan setelah membahas ketidakmampuan Hukum Taurat dalam menyelamatkan siapa pun, Paulus menegaskan bahwa kasih kepada sesama sesungguhnya merupakan kesempurnaan hukum.  Akan tetapi, jika Allah tidak dikenal dan tidak dicintai, tidak akan ada dasar atau motif untuk cinta sesungguhnya terhadap sesama. Hanya Kehadiran Allah dalam setiap manusia dan pengakuan akan orang lain sebagai anak-anak Allah, dapat membentuk dasar yang kokoh untuk cinta terhadap sesama. Singkatnya, cinta adalah dasar hukum Taurat, dan kita memenuhi hukum itu dengan mencintai sesama. Di sini, Paulus mengingatkan kita bahwa cinta mengharuskan kita untuk saling memperhatikan keselamatan menyeluruh satu sama lain, dan cinta semacam itu harus dijalankan. Cinta yang saling memberi adalah motivasi yang harus menuntun semua upaya penyelamatan, baik fisik maupun rohani.

Dalam Injil hari ini (Mat.18 :15-20), Yesus mengajarkan bahwa kasih Kristiani yang sejati mengharuskan seorang Kristen untuk membantu mengoreksi atau memperbaiki mereka yang telah merusak komunitas melalui dosa-dosa publik. Jika orang yang bersalah menolak koreksi kasih dari pihak yang dirugikan, maka seorang Kristen harus mencoba melibatkan lebih banyak orang: pertama, “satu atau dua orang lain,” dan akhirnya “jemaat” sebagai persekutuan kaum beriman. Akhirnya, Yesus menyebutkan efektivitas doa komunitas dalam menyelesaikan masalah seperti ini, karena Kristus hadir dalam komunitas Kristen yang berdoa.

Secara lebih rinci, Injil hari ini membahas hubungan antara anggota Gereja satu sama lain dan menyoroti salah satu tanggung jawab yang paling sulit yaitu koreksi persaudaraaan (correctio fraterna). Matius mengembangkan perkataan Yesus, yang awalnya berkaitan terutama dengan pengampunan (Bdk. Luk 17:3-4), menjadi prosedur empat langkah untuk mendisiplinkan anggota dalam Komunitas Gereja baru yang eskatologis. Dengan menguraikan proses empat langkah yakni: konfrontasi, negosiasi, resolusi kristiani, dan simpati mendalam, Yesus memberitahu kita bagaimana menghadapi dan akhirnya memperbaiki hubungan yang rusak dalam persekutuan Kristen.

Pertama: Konfrontasi. Jika kita merasa bahwa seseorang telah bersalah kepada kita, sepatutnya kita langsung menegurnya dengan penuh kasih. Hal terburuk yang dapat kita lakukan terhadap suatu kesalahan atau kejahatan ialah bahwa kita cenderung mendiamkannya serta merenungkannya saja dalam pikiran dan hati kita. Hal ini seseungguhnya berbahaya, karena dapat meracuni seluruh pikiran, hati dan hidup kita, sampai kita tidak bisa memikirkan hal-hal lain lagi, selain perasaan mengenai luka-luka batin kita. Seharusnya semuanya itu dihadapi dengan jiwa besar, dibeberkan secara terbuka, dan diungkapkan secara terus-terang. Dengan demikian, tidak perlu ada lagi dendam dalam hati terhadap orang yang bersalah kepada kita. De facto, muncul semakin banyak persoalan dan kesulitan dalam relasi kita, karena kita tidak punya cukup keberanian sekaligus kerendahan hati untuk mendatangi orang yang punya persoalan dengan diri kita. Sering kita lebih suka bertahan sambil menunggu, dengan harapan: atau orang yang bersangkutan akan datang meminta maaf, ataukah bahwa persoalan itu akan berlalu juga dengan sendirinya seiring berlalunya waktu. Namun fakta berbicara, bahwa justru dengan sikap bertahan seperti itu, akar persoalannya tidak pernah akan diselesaikan secara tuntas, bahkan benih-benih dendam akan semakin berkembang subur dalam hati. Dengan demikian, tetap ada satu cara terbaik untuk menyelesaikan segala perbedaan dan persoalan di antara kita, yaitu dengan bertemu secara langsung, dari muka ke muka.

Kedua, Negosiasi. Seandainya langkah pertama berupa konfrontasi langsung dan terbuka tidak berhasil maka langkah kedua yang ditempuh adalah membawa beberapa orang yang dianggap cukup bijaksana sebagai saksi. Tentang hal ini, Kitab Ulangan mengatakan, “Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai perkara kesalahan apa pun atau dosa apa pun yang mungkin dilakukannya ; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan!” (Ul 19:15).  Inilah teks yang kiranya menginspirasi penginjil Matius ketika ia menulis bagian injilnya ini. Namun dalam hal ini, kehadiran para saksi itu tidaklah dimaksudkan untuk mengadili atau memvonis seseorang, melainkan untuk membantu proses rekonsiliasi atau pendamaian.

Ketiga, Resolusi Kristiani. Jika usaha mendatangkan  para saksi ini toh tetap gagal, maka hendaknya kita membawa masalah-masalah itu ke tingkat persahabatan kristiani. Mengapa demikian? Karena persoalan-persoalan itu tidak pernah akan dapat diselesaikan melalui jalur hukum atau oleh argumen-argumen yang sama sekali tidak bersifat kristiani. Legalisme semata-mata, biasanya hanya akan menghasilkan persoalan baru lagi (Bdk. kasus-kasus KDRT yang diselesaikan lewat jalur hukum, yang pada umumnya berakhir bukannya dengan rekonsiliasi serta harmonisasi hubungan antara korban dan pelaku, melainkan justru semakin menjauhkan bahkan memisahkan, memutuskan serta mencerai-beraikan hubungan antara keduanya {korban dan pelaku} dengan sejuta benih kebencian serta hasrat balas dendam yang terpendam. Konsekuensi lanjutnya, lingkaran setan kekerasan antar-manusia pun terus berputar dan menggurita tiada henti). Sebaliknya, dalam suasana doa, cinta dan persahabatan kristiani, relasi pribadi yang telah retak di antara manusia akan dapat dipulihkan kembali.

Keempat, Penuh Simpati. Pada tahap yang terakhir, penginjil mengatakan bahwa jika semua upaya itu akhirnya toh tidak berhasil, maka orang yang bersalah itu hendaknya dianggap sebagai orang kafir (yang tak mengenal Allah) dan pemungut cukai. Konsekuensinya, ia harus diasingkan, dengan harapan bahwa pengasingan atau pengucilan sementara itu dapat membawa si pendosa untuk bertobat dan berubah. Bagaimanapun, dalam semua proses ini, kita perlu selalu bercermin pada sikap Yesus yang selalu ramah, terbuka, penuh empati, simpati dan berbelaskasih terhadap para pendosa, pemungut cukai yang korup, para pelacur, atau mereka yang dianggap kafir oleh kaum Yahudi. Semasa hidupNya di dunia, ketika berbicara tentang para pemungut cukai dan orang berdosa, Yesus selalu menunjukkan simpati, kelemahlembutan dan penghormatan terhadap mutu kebaikan dalam diri mereka. Pengalaman Yesus membuktikan bahwa, mereka juga punya hati untuk disentuh, dan ada banyak di antara mereka (seperti Matius dan Zakeus) yang telah berubah secara radikal dan menjadi sahabat-sahabatNya yang terbaik. Karena itu, sekalipun jika orang berdosa yang bertegar hati itu ibarat seorang pemungut cukai atau seorang kafir, kita seharusnya tetap berusaha menyelamatkan dia, sebagaimana Yesus sendiri telah melakukannya ! Hal ini merupakan tantangan bagi para murid dan pengikut Yesus untuk senantiasa berjuang menemukan kembali ‘kawanan domba yang sesat dan hilang’, dengan belas-kasih serta simpati mendalam, yang dapat merobohkan serta menghancurkan tembok-tembok hati yang paling keras sekalipun.

Selanjutnya, ada sebuah ucapan Yesus tentang ‘mengikat dan melepaskan’ dosa-dosa, yang juga perlu dipahami secara benar. Yang jelas, ucapan ini tidak sekadar berarti bahwa Gereja punya kuasa untuk menghakimi atau mengadili para pendosa.  Yang dimaksudkan Yesus ialah bahwa oleh sengsara dan wafatNya di salib, belenggu dosa yang ‘mengikat’ manusia dalam kegelapan maut sekaligus menutup jalan serta pintu masuk ke dalam surga itu, kini telah dilepaskan dan dipatahkan.  Karena itu, Gereja pun seharusnya terus berjuang melepaskan berbagai belenggu dan ikatan dosa untuk mengantar sebanyak mungkin orang masuk ke dalam kemuliaan Kerajaan Surga, dan bukan sebaliknya berusaha menghalang-halangi, apalagi menutup jalan menuju keselamatan itu.

Selanjutnya, Yesus juga bersabda : « Jika dua orang daripadamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan BapaKu yang di surga. Sebab, di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka ! ».

Kata-kata Yesus ini kiranya tidak perlu dipahami secara harfiah belaka. Karena de facto, sekian sering, dua orang sepakat berdoa demi kesejahteraan rohani dan jasmani dari orang yang dicintai, namun ternyata doa-doa mereka sepertinya tidak terjawab. Kalau kita mau merenungkan lebih saksama kata-kata Yesus tadi, niscaya kita akan menemukan kedalaman maknanya yang sebenarnya :

Pertama dan terutama, hal ini berarti bahwa doa hendaknya tidak pernah bersifat egois, karena sesungguhnya, doa yang egois tidak akan dikabulkan. Dengan demikian, doa yang disampaikan, hendaknya lahir dari suatu kesepakatan bersama sebagai anggota suatu persekutuan, demi kepentingan dan kebaikan bersama, teristimewa demi kesejahteraan mereka yang sangat membutuhkannya. Doa semacam ini, tentu sangat membantu menghindarkan kita dari kecenderungan berkonsentrasi hanya pada kepentingan dan keinginan-keinginan pribadi yang egois.

Yang kedua, jika doa-doa kita tidak bersifat egois, tentu akan dikabulkan. Namun, bagaimanapun kita perlu tetap ingat bahwa dalam doa, yang kita dapatkan bukanlah terutama jawaban yang kita inginkan, melainkan jawaban Allah sendiri. Dengan kebijaksanaan serta cintaNya yang maha-agung, Allah tahu pasti tentang apa yang terbaik bagi diri kita. Karena itu, rumusan akhir yang terbaik dari setiap doa kita bukanlah, « Terjadilah padaku menurut kehendak-ku », melainkan « Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu ».

Akhirnya, Yesus juga mengatakan bahwa « di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya, Ia ada di tengah-tengah mereka ». Kita dapat memahami janji agung Yesus ini dalam dua cakupan makna:

Pertama : dalam cakupan atau lingkup Gereja. Bahwasanya Yesus selalu hadir dalam komunitas-komunitas kecil yang berdoa, sebagaimana Dia juga hadir dalam perayaan-perayaan misa yang akbar dan agung. Dalam hal ini, Yesus tidak pernah membiarkan diriNya dikontrak dan dibelenggu hanya oleh mayoritas umat yang sekian besar jumlahnya. Sebaliknya, Yesus ada dan hadir di mana saja hati kaum beriman bertemu, betapapun sedikitnya mereka, karena Dia memberikan seluruh diriNya kepada setiap pribadi.

Kedua : dalam lingkup rumah-tangga atau keluarga. Dua atau tiga orang itu adalah : ayah, ibu dan anak ; dan itu berarti bahwa Yesus ada di sana, sebagai tamu tidak kelihatan dalam setiap rumah tangga. Dalam hal ini, kiranya setiap keluarga dan rumah tangga kristen, senantiasa menghadirkan Yesus dalam seluruh situasi hidup mereka, sehingga dengan demikian, keluarga-keluarga Kristen sungguh menjadi ‘Gereja mini’, seminari perdana, di dalamnya Yesus Kristus, yang adalah Sabda Allah yang hidup itu hadir dan berkarya, demi pengudusan dan penyelamatan umat manusia. Mudah-mudahan…..Amin !!!!

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More