PROSES ADALAH JALAN UNTUK MENEMUKAN KEBENARAN DAN KEDAMAIAN DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERKAWINAN

0 53

 

ABSTRAKSI

Ada komentar karena ada sesuatu yang terjadi yang harus dikomentari. Sudah pasti bahwa komentar menghasilkan dua hal yaitu yang baik yang berarti membangun dan yang tidak baik berarti merusak atau menjatuhkan. Tetapi dua hal ini selalu berdampingan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Hanya butuh kejelihan dari manusia untuk memilih dan mengikuti satu hal dari keduanya sesuai yang dikehendakinya. Tetapi setiap orang selalu memilih dan menghendaki yang baik. Karena yang baik adalah sesuatu yang membangun keakraban dan kedamaian diantara mereka. Ia tahu bahwa hidupnya bergantung dengan yang lain atau berhubungan dengan yang lain. Ia tidak bisa hidup sendiri tanpa yang lain. Maka ia sangat membutuhkan relasi dan hubungan yang baik.

Namun kelemahan yang ada dalam diri manusia terkadang membuat ia memilih dan mengikuti hal yang tidak baik. Kekeliruan yang membuat dia merasa sesuatu yang dibuatnya itu adalah yang paling benar. Dan ini yang tidak disadari oleh manusia bahwa ia mempunyai kelemahan dan kekelirian dalam menentukan, mengikuti dan melakuakan sesuatu. Sehingga dari hal ini muncullah persoalan dan pertentangan. Setiap orang membenarkan diri dan mempertahankan diri walaupun beradalam kekeliruan.  Jalan yang terbaik untuk keluar dari persoalan ini adalah bahwa setiap orang harus sadar dan mampu menjadi hakim atas dirinya. Dengan itu ia bisa keluar dari dirinya untuk menemukan kebenaran diluar dirinya.

Kata Kunci: Proses perkawinan, Gereja

 

 

 

 

PENDAHULUAN    

            Hidup selalu berada dan berjalan dalam proses. Proses mencakup seluruh aspek dalam kehidupan mansuia. Terkadang proses membawa dan mengarahkan manusia kepada suatu kehidupan yang baik tetapi juga mengarah pada suatu situasi yang tidak baik bahkan sampai pada perpecahan dalam relasi dengan sesama. Tetapi kenyataannya setiap manusia selalu mengharapkan suatu proses yang baik; yang damai dan saling membangun.  Dalam kehidupan bersama, manusia selalu berusaha melakukan sesuatu yang mebuat hidupnya nyaman. Atau berusaha membahagiakan hidupnya dengan berbagi macam cara. Tentu cara yang dilakukan manusia itu berbeda-beda. Mengapa? Karena setiap manusia memiliki kehendak yang berbeda-beda. Sehingga dari perbedaan itu manusia menjadi unik dan meperoleh banyak pengetahuan. Namun perbedaan ini juga kadang menimbulkan banyak hal yang baik maupun yang tidak baik, yang menyatukan tetapi juga yang merusak, menimbulkan perselisihan dan juga kedamaian. Semuanya itu pasti terjadi. Enteh terjadi secara tiba-tiba maupun yang sudah direncanakan atau yang sudah disepakati bersama demi tujuan masing- masing. Persoalannya adalah karena manusia memiliki kebenaran dalam dirinya.

Setiap orang memiliki kebenaran. Dari hal ini muncul pertentangan, keraguan dan penilaian atas setiap kebenaran itu dari setiap manusia. Maka yang menjadi kendala adalah menyatukan semua kebenaran yang berbeda itu supaya menjadi satu dan bisa dimengerti dan diterima oleh semua orang. Maka tepat sekali membentuk suatu lembaga yang berguna dan berfungsi untuk menegakan dan menyatukan keberan dari setiap kehendak manusia yang berbeda itu supaya tercipta keadilan bagi keduanya. Dengan langkah dan proses yang begitu panjang serta bukti dan pemahaman yang menjamin, bisa diterima serta mengarah pada kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang mutlak berarti kebenaran yang bisa dimengerti dan diterima oleh semua orang karena dipertanggungjawabkan dengan data dan fakta.

Sehingga pada dasarnya kebenaran adalah suatu hal yang pasti yang menjamin kelansungan hidup setiap orang dalam damai dan kebahagian dan yang penuh keakraban. Dan bukannya menjadi masalah dan pertentangan yang membuat manusia menjadi musuh bagi sesamanya, mulai mengadili satu dengan yang lain yang mendasarkan pada kebenarannya sendiri. Tetapi dalam proses menyelesaikan persoalannya ini manusia sudah memimiliki atau sudah membentuk suatu lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan, memutuskan pertentangan diantara mereka dengan cara yang baik. Supaya dalam perselisihan, kesalapahaman dan pertentangan itu dapat menemukan jalan yang terbaik yang membawa mereka pada perdamaian. Dengan prosedur atau syarat-syarat, atau ketentuan dan aturan yang berlaku yang sudah disepakati bersama. Manusia begitu pintar sehingga mereka bisa menemukan sendiri jalan yang baik untuk mengetasi persoalan hidup untuk mencapai jalan damai. Inilah yang terjadi jika lembaga ini tidak ada. Dunia tidak akan pernah mancapai satu kebenaran dan keadilan. Mengapa karena setiap orang akan mempertahankan kebenarannya masing-masing yang ternyata kebenarannya itu adalah sebuah kekeliruan. Maka sekali lagi sangat penting adanya lembaga atau intitusi yang bertugas untuk menyelesaikan masalah dengan suatu proses penelitian atas data-data dan kenyataan sehingga mencapai kebenaran yang valid. Tidak menjadi masalah, jika dalam menyelesaikan persoalan itu membutuhkan waktu yang panjang. Karena kebenaran perlu diteliti dan dicermati secara baik. Proses sangat penting dalam menemukan dan menentukan kebenaran, mengapa? Karena kebenaran membutuhkan proses.

Lembaga atau institute itu adalah hakim. Tugas hakim bukan saja memutuskas perkara tapi juga mengumpulkan, mencari tahu, dan meneliti  bukti dan fakta yang didapat dengan tugas dan struktur yang telah dibagi atau yang telah teroganisir dengan fungsinya masing-masing dalam menyelesaikan masalah. Dan dalam berbagai macam hal yang mana jika masalah itu telah disepakati oleh salah satu atau dua orang yang bermasalah untuk diadili dan diproses supaya masalah yang dihadapi dapat terselesai dengan baik. Kenyataannya walaupun lembaga sudah ada tetapi masih banyak hal yang belum teratasi persoalannya, tetapi paling kurang sudah sangat membantu manusia untuk bisa keluar dari masalah yang dihadapi dengan menyerahkan masalah mereka ke lembaga yaitu hakim untuk menyelesaikan khasus mereka. Karena untuk mencapai kebenaran dan keadilan bagi setiap manusia yang memiliki kehendaknya masing-masing sangatlah tidak mudah. Butuh proses dan waktu yang panjang. Kehendak memiliki kebenaranya masing-masing. Maka untuk menyatukannya sangatlah tidak mudah. Mudah jika kebenaran diperhadapkan dengan keburukan.

PEMBAHASAN

            Sebelum kita mejelaskan tahap atau langkah-langkah untuk memproses dan menyelesaikan masalah terlebih dahulu kita mengenal apa arti dari kata proses?

Arti kata proses

            Dalam kamus besar bahasa Indonesia proses mempunyai beberapa arti kata.  yang pertama adalah kata benda yang artinya runtunan peerubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu; rangkaian tindakan, perbuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk; dan arti yang ketiga adalah perkara dalam peradilan. Sedangkan dalam arti kata kerja proses adalah berita acara (laporan mengenai suatu perkara, yaitu waktu terjadinya, tempat terjadinya, keterangan, dan petunjuk lain).[1]

Dari pengertian diatas dapat membantu kita untuk maju ketahap berikutnya yaitu tahapdan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menyelesaikan khasus:

  1. Pembuka perkara

Tahap pertama dari proses anulasi atau proses kebatalan ikatan perkawinan orang katolik terdiri dari surat gugat atau permohonan yang dalam terminology yuridis disebut Libellus, kedua pemanggilan tergugat atau biasa disebut responden dan ketiga penentuan pokok sengkete atau Contestation Litis, hakim merumuskan pokok-pokok perselisihan berdasarkan surat gugat dan jawaban dari kedua pihak yang berperkara dalam sebuah dekrit atas memanggil kedua pihak yang berperkara untuk berdiskusi hinggga mencapai kesepakatan atas rumusan pokok persoalan.

  1. Tahap kedua yakni pengumpulan bukti-bukti

Bukti merupakan kata benda yang artinya adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; saksi; tanda.[2] Kitab Hukum Kanonik 1998 menetapkan enam sumber bukti yang perlu diperhatikan dalam mengurus dan menangani sebuah perkara. Pertama, pernyataan dan pengakuan para pihak yang berperkara secara tertulis atau lisan melawan diri sendiri sehubungan dengan perkara yang sememntara dalam penyelidikan pengandilan. Kedua dokumen-dokumen adalah sumber informasi tertulis yang sangat dibutuhkan oleh hakim untuk memperoleh suatu kepastian moril sebelum menambil keputusan. Ketiga para saksi dan kesaksiannya. Saksi adalah seorang yang secara resmi dipanggil dan disumpah oleh pengadilan agar menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seorang hakim atau auditor sehubung dengan suatu perkara yang dibawah kepengadilan. Sedangkan kesaksian adalah pernyataan dari seseorang yang etlah diambil sumpahnya yang dicatat oleh seorang Notarius Tribunal. Keempat, saksi ahli adalah seorang spesialis yang unggul, berpengalaman dan trampil dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, yang diminta oleh Tribunal untuk membantu hakim dalam membuktikan suatu fakta atau kebenaran. kelima, hakim dapat terjun langsung ke medan untuk penelitian lebih lanjut. Keenam, presumsi yaitu perkiraan yang masuk akal tentang sesuatu yang belum pasti. Ada pengandaian hokum yang ditetapkan oleh hukum itu.

Setelah melalui langkah-langkah di atas melalui sebuah dekrit hakim memberitahukan parabpihak yang berpekara bahwa pengumpulan bukti telah selesai dan akta perkara boleh dilihat di kantor Tribunal sesuai petunjuk hakim. Dan yang terkhitr dari bagian ini adalah penutup perkara dengan mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara. Setelah semua bukti dikumpulkan dan hakim menganggap perkara tersebut sudah cukup ditangani maka hakim harus menegaskannya dengan sebuah dekret.

  1. Tahap ketiga adalah pembahasan perkara

Setelah bukti-bukti dikumpulkan, hakim memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka yang berperkara atau kuasa hokum masing-masing pihak untuk membuat pembelaan dan catatan-catatan penting tertulis yang perlu mendapat perhatian hakim atau kecuali hakim  dengan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, menilai cukup bahwa dengan perdebatan lisan selama sidang pengadilan atau pembelaan lisan dapat dilakukan jika pembahasan perkara dilakukan secara tertulis.

  1. Tahap keempat adalah putusan hakim (kan.1607-1655;1681-1685)

 Seluruh proses peradilan berakhir dengan keputusan defenitif hakim dan sanggahan terhadap putusan hakim bila ada “Mandatory Review” atau tinjauan wajib demi hokum oleh Tribunal Tingkat Kedua sebagai pengadilan banding (kan. 1682) dan eksekusi atau pelaksanaan putusan.[3]  Keputusan hakim (§ 1) Meskipun objek kontroversi harus disebutkan dalam (surat) permohona (cc. 1502, 1504, 1°-2°) dan panggilan (c. 1507 § 1), secara yudisial adalah yang tidak bisa dipungkiri dengan persekutuan masalah (lih. c. 1726 CIC/1917). Oleh karena itu, dalam undang-undang prosedural ini, istilah-istilah kontroversi didefinisikan iudicialiter, sedemikian rupa sehingga esensi undang-undang tersebut dibentuk oleh penetapan istilah oleh hakim, dan bukan unsur lain, seperti kontradiksi undang-undang. Tergugat untuk klaim penggugat dengan maksud untuk persidangan. Ini dipertahankan oleh opini yang berwenang bahkan saat CIC/1917 berlaku Intervensi hakim tidak hanya bersifat formal dan merupakan keseriusan perbuatan, seperti yang telah dipertimbangkan di masa lalu, juga tidak hanya diperlukan jika terjadi perselisihan antara para pihak atas kesepakatan mula yang telah disepakati (c. 1729 § 3 CIC/1917), atau jika salah satu pihak tidak ada (c. 1729 § 1 CIC/1917). Sebaliknya, ini penting untuk keputusan di mana hakim sendirilah yang harus menilai kontroversi tersebut. Bahkan, Kode menyoroti masalah sebagai tindakan hakim, yang mendefinisikannya dengan keputusan prosedural (lih. C. 1617) yang bersifat deklaratif, sejauh ketentuan kontroversi harus disimpulkan dari permohonan dan balasan dari para pihak.

Rumus konklusif untuk menetapkan poin-poin penting dari kontroversi tidak sama untuk semua penyebab, tetapi dapat berbeda dalam bentuknya, selama causa petendi didefinisikan dengan jelas dalam istilah yuridis. Kasus-kasus di mana hukum itu sendiri memberlakukan penggunaan satu rumus untuk dubium, seperti dalam perkawinan (lih. C. 1677), dikecualikan. Oleh karena itu, semuanya diserahkan kepada hakim, yang akan menetapkan ketentuan kontroversi secara ex officio. Keputusan tersebut dikeluarkan secara tertulis (lih. C. 1472 § 1) oleh hakim ketua atau ponens, tanpa mengadakan para pihak, setelah jawaban dari tanggung jawab. Bentuk surat keputusan yang berisi pernyataan hakim, tidak seperti yang diberikan inc. 1727 CIC/1917, tidak bisa hanya sekedar penyisipan dalam tindakan gugatan antitesis para pihak, karena norma saat ini mengatur bahwa hakim harus menetapkan syarat-syarat kontroversi.

Canon 1512 bisa dibilang sama dengan CIC/1917 c. 1725: surat printah/perintah yang sah menurut hukum menutup busur relasional dari proses dan melengkapi konstitusi hubungan prosedural antara para pihak dan antara para pihak dan hakim. Ikatan yang berasal dari hubungan antara para pihak, hakim dan objek proses dimulai dengan, dan muncul dari, panggilan yang sah dan melalui itu muncul. Oleh karena itu, dalam arti yang sempit, panggilan tersebut menandai permulaan proses.

Ada dua efek fundamental dari pemanggilan yang ditunjukkan dalam kanon ini: efek substantif dan efek prosedural.

  1. 1. Dari sudut pandang substantif
  2. a) Efek pertama adalah bahwa “materi tidak lagi menjadi materi yang netral”. Oleh karena itu, situasi yang dikemukakan oleh petisi menjadi situasi hukum, dan gugatan antara kedua pihak yang menjadi kewenangan hakim dimulai. Hal ini menjernihkan kontroversi yang sudah berlangsung lama mengenai asal mula persidangan, apakah itu dimulai dengan panggilan atau dengan jawaban atas pengaduan. Menurut doktrin prosedural modern, Permulaan persidangan bukanlah petisi, karena busur relasional dari pihak satu sama lain dan ke pengadilan tidak ditutup olehnya, meskipun diindikasikan. Juga bukan permulaan persidangan di masalah persidangan, di mana masalah persidangan ditetapkan dan diperbaiki. Panggilan yang dilayani secara sah menutup sepenuhnya hubungan prosedural dengan vocatio in ius responden yang menjadi elemen pasif dari hubungan prosedural. Petisi memulai proses dengan menghubungkan penggugat ke pengadilan, tetapi hubungan ini selesai ketika res litigiosa dirujuk ke responden tertentu, yang menghasilkan panggilan dan tidak lebih. Jawaban atas permohonan menetapkan dan merinci masalah persidangan, namun mengandung arti bahwa hubungan prosedural terbentuk dan terbentuk sepenuhnya, karena termohon yang menjawab permohonan sudah terintegrasi dalam hubungan prosedural, dan jawaban tersebut merupakan konsekuensi dari penampilan panggilannya. Dengan panggilan, “hal [materi] berhenti menjadi sebuah res integra.” Masalah tersebut kehilangan independensi substantifnya sendiri dan tunduk pada prosedur yudisial, karena bergantung pada hasil putusan. Selain itu, hal tersebut tidak lagi netral dan menimbulkan konflik dan pertikaian.
  3. b) Efek substantif kedua terletak pada kenyataan bahwa panggilan menganggu resep, kecuali ditentukan lain. Efek panggilan ini tidak dapat dikaitkan dengan kurangnya itikad baik, yang dapat terjadi – menurut c. 1515-sampai jawaban surat permohonan: itu lebih merupakan akibat dari hukum. Dan tampaknya logis: melalui pemberitahuan panggilan, responden dipanggil untuk diadili, tetapi panggilan dalam arti sempit adalah satu hal dan itu adalah hal lain untuk bertanggung jawab atas apa yang ditimbulkan oleh panggilan itu, yang terjadi setelah perkumpulan. Masalah. Ini adalah urutan organisasi yang membuat panggilan bertepatan dengan akhir resep.
  4. 2. Dari segi yuridis-formal

Dari segi yuridis-formal, pemanggilan yang sah memiliki efek fakta-fakta khusus.

  1. a) Pertama-tama, akibat dari pemanggilan itulah yang disebut dengan pelaksanaan yuridiksi: yaitu, pada saat ada pemberitahuan panggilan, efek-efek pencegahan tercipta dan hakim yang terlebih dahulu memerintahkan panggilan menjadi secara eksklusif kompeten sejak saat itu mengecualikan orang lain yang mungkin kompeten karena berbagai alasan. Pemanggilan tidak hanya membatalkan kompetensi hakim lain yang mungkin kompeten, tetapi juga melanggengkan kompetensi hakim pertama untuk memanggil termohon: dan ini terlepas dari perubahan apapun yang mungkin terjadi, seperti perubahan domisili atau kondisi masalah tentang sengketa. Efek ini membuktikan aksioma “semel iudex, sempre iudex,” yang prinsipnya tidak dapat dibantah kecuali melalui pernyataan inkompetensi absolut (c. 1461), melalui hasil positif dari pengecualian inkompetensi relatif (c. 1460), melalui klaim yang benar dari “forum praeven- tionis” (c. 1415), atau melalui kemungkinan reservasi dari penyebabnya oleh Paus Roma (c. 1405 § 1, 4°).
  2. b) Kedua, pemanggilan memiliki efek yang serupa dengan yang sebelumnya: yurisdiksi hakim yang didelegasikan dikonsolidasikan, diabadikan, dan dibuat tegas, yang berlanjut melampaui keabadian orang yang mendelegasikan: setelah responden dipanggil oleh orang yang mendelegasikan hakim yang didelegasikan tidak lagi terpengaruh oleh apapun yang dapat terjadi pada yurisdiksi orang yang didelegasikan.
  3. c) Terakhir, panggilan tersebut menandai awal dari “lis pendens” dan prinsip bahwa “lite pendente, nihil innovetur” segera berlaku.

“Lis pendens” adalah keadaan litigasi yang menunggu penyelesaian kedepan pengadilan tertentu sampai masalah tersebut diselesaikan dengan keputusan yang pasti. Di sini, bekas kontroversi peradilan atas permulaan lis pendens juga diselesaikan. Organisasi kanonik menempatkan hal ini dimulai dengan pemanggilan termohon, karena dengan tidak adanya keadaan tersebut, termohon belum memasuki persidangan dan tidak ada prasangka prosedural yang dapat disimpulkan dari persidangan. Selama lis pendens, masalah yang disengketakan tidak dapat dikenakan proses lain dan, jika ada yang mencobanya, maksud ini dapat dicegah dengan pengecualian lis pendens. Setelah lis pendens dimulai, tidak ada pihak yang dapat menggunakan hal yang akan diproses hukum sedemikian rupa sehingga kondisi dari hal tersebut akan berubah dengan prasangka bagi siapa pun dalam hukum yang memiliki hak untuk memanfaatkannya sesuai dengan putusan definitif. Pengecualian lis pendens didukung oleh prinsip ekonomi prosedural, yang mengharuskan dua atau lebih proses pada litigasi yang sama dihindari. Itu bertumpu pada kebutuhan untuk menghindari penilaian yang berbeda dan bahkan kontradiktif pada litigasi yang sama, serta pada fakta bahwa tidak adil jika memaksa responden untuk membela dirinya sendiri dalam proses yang berbeda tentang hal yang sama. Selain eksepsi tersebut, lis pendens memiliki efek positif dalam hukum kanon, yang diungkapkan dalam susunan kata c. 1512, 5° “sementara setelan tertunda, tidak ada elemen baru yang akan diperkenalkan.” Inovasi apapun selama gugatan itu ditunda merupakan “serangan” menurut undang-undang kanonik sebelumnya (cc. 1854-1856 CIC/1917). Dalam CIC, pelanggaran prinsip ini hanya dapat dikenakan tindakan yang mungkin nihil, yang akan dikoreksi oleh putusan sesuai dengan c. 1619 tentang sebab-sebab yang menyangkut barang pribadi; Sedangkan mengenai penyebab yang menyangkut barang umum, ketentuan kan. 1622, 5° harus dipenuhi. Pengecualian lis pendens adalah untuk contoh apa materi yang diputuskan untuk tindakan, di mana ia berusaha untuk mencegah kelahiran yang tidak perlu dari suatu proses, sementara pengecualian materi yang diputuskan memadamkan tindakan tersebut.

Inilah tahap dan proses dalam meneliti dan menangani perkara anulasi perkawinan untuk mecapai pokok sengketa. Dan kitapun perlu tahu siapa dan apa yang menjadi sarana dalam menangani masalah seperti ini.

  1. Gereja

Gereja adalah persekutuan umat Allah. Mengapa? Allah memanggil umat-Nya dari antara segala bangsa ke dalam Gereja dan membentuk mereka menjadi “bangsa yang terpilih, imamat yang rajawi, bangsa yang kudus” (1Ptr 2:9) Orang menjadi umat Allah berkat iman kepada Kristus dan oleh pembaptisan dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Umat ini memiliki Kristus sebagai Kepala. Roh kudus berdiam di dalam hati mereka sebagaimana di dalam kenisah. Hukumnya adalah perintah untuk mencitai sesame, seperti Kristus sendiri telah mencintai kita. Itulah hukum baru Roh Kudus.

Misinya adalah menjadi garam dan terang dunia. Tujuanya adalah kerajaan Allah yang oleh Allah telah dimulai di dunia dan kelak akan diselesaikan-Nya pula pada akhir zaman (bdk. Katekismus, 782).[4] Gereja adalah suatu komunitas yang sangat berbeda dari Negara atau komunitas masyarakat sekular lainnya. Gereja dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Maka, menganut ajaran konsili sebelum ini, Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatnya yang beriman dan kepada seluruh dunia, manakah hakikat dan perutusannya bagi semua orang. Keadaan zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk menunaikan tugas secara lebih erat berkat pelbagai hubungan sosial, teknis, dan budaya, kesatuan sepenuhnya dalam Kristus.[5] Dalam dan melalui Kristus, Pengantara di dunia ini telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan imam, harapan dan cinta kasih, sebagai himpunan yang kelihatan. Ia tidak hentinya memelihara Gereja. Melalui Gereja, Ia melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang” (LG, 8).[6] Gereja itu serentak merupakan sebuah serikat yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis dan Tubuh Mistik Kristus, sebuah kelompok yang tampak (kelihatan) dan persekutuan rohani. Sebagai sakramen, Gereja adalah alat Kristus. Gereja di dalam tangan Tuhan adalah “alat penyelamat semua orang” (LG, 9), “Sakramen keselamatan bagi semua orang” (LG, 48), yang olehnya Kristus “menyatakan cinta Allah kepada manusia sekaligus melaksanakannya” (GS, 45, 1). [7] Di dalam Gereja tugas untuk menangani dan menyelesaikan kasus anulasi perkawinan harus melalaui perangkat atau tahap yang sudah ditetapkan dalam Gereja jika pokok sengketa mengharuskan dalam penyelesaiannya belanjut sesuai antara kasus dengan tingkatan hirarki dalam Gereja. Secara umum gambaran perangkat dala geraja ada tiga yaitu perangkat Eksekutif: Vikaris Jendral, Vikaris Episkopal sampai dewan pastoral. Sedangkan perangkat Yudikatif: Vikaris Yudisial, hakim, sampai asesor. Dan sebagai perangkat legislatif adalah Uskup Diosesan adalah seorang gembala umat Allah yang bersama para imam membangun gereja particular dalam bimbingan Roh Kudus melalui terang Injil dan Ekaristi, sehingga terwujud Gereja Kristus yang satu, Kudus, Katolik dan Apostolic.

Uskup diosesan adalah ordinary, khususnya ordinaris wilayah, yang memiliki kuasa kepemmpinan terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka. Kuasa kepemimpinannya mencakupi kuasa legislative, eksekutif, dan yudikatif (bdk. Kan. 135 § 1). Yang termaksud ordinaris adalah Paus di Roma, Uskup Diosesan, prelature territorial, abas territorial, vikaris apostolic, prefektur apostolic, administrator apostolic, vikaris jendral, vikaris episcopal, sampai pemimpin tarekat klerikal dan serikat hidup kerasulan tingkat kepausan yang memimpin keuskupan bila tahta suci lowong atau terhalang.[8] Dari semua hal di atas sebenarnya hanya mau mengaskan bahwa proses anulasi perkawinan bila dilakukan dengan prosedur dan cara yang baik pasti akan mencapai pokok yang berujung pada kedamaian dan persatuan suami dan isteri. Sebagaimana yang dikatakan oleh St. Thomas. Dia beranggapan bahwa perkawinan adalah kebersamaan (conuinctio), relasi, persatuan; dan persatuan yang dimaksudkan di sini adalah khusus suami isteri (conjugal). Namun terkadang juga tidak bisa disatukan dan mempertahankan perkawinan mereka dan hanya mendamaikan mereka dalam masalah yang dihadapi.

 

PENUTUP

            Perkawinan adalah bagian yang normal daripada kehidupan ini. Kehidupan yang lengkap, berarti termaksud perkawinan. Dalam menelaah perkawinan kita sedang menelaah kehidupan karena kehidupan itu terjadi akibat retautan hidup dari dua individu. Perkawinan adalah ikatan yang paling mesrah dari segala perhubungan manusia. Hak prioritas ini telah diakui tat kala lembaga perkawinan ini diteguhkan Ilahi, karena dalam hubungan inilah Kitab Suci mengatakan: sebab seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, sehingga keduanya menjadi satu daging Kej 2:24. Hubugan perkawinan adalah bagian yang amat mulia daripada kehidupan ini sehingga sukses dalam hidup seiring tergantung sukses dalam perkawinan. Kalau perkawinan itu sukses maka kehidupan itupun sempurna dan bahagia, tetapi jika perkawinan itu gagal maka kehidupan itupin gagal dan lumpuh.[9]

Sekarang perkawinan tidak lagi menjadi hal sangat mulia dan suci. Perkawinan menjadi hal yang di lakukan karena berbagai kepentingan dari setiap pribadi termaksud alasan yang paling fundamental dari kehidupan ini adalah kebahagian. Jika tidak bahagia maka perkawinan itu tidak ada berguna. Manusia lupa bahwa perkawinan adalah saling melengkapi dan menyempurnakan. Itu berarti yang kurang dalam diri seseorang dilengkapi oleh yang pasangannya. Dan tujuan dari keduanya bersatu adalah saling membahagiakan dalam kekurangan. Karena tidak ada satu pun manusia yang sempurna. Setiap manusia hanya berusaha untuk mencapai yang sempurna itu dengan dan melalui sesame. Tidak bisa tida. Jadi jika ia melepaskan hidup dari sesame yang menjadi pilihan pertamanya sebenarnya ia telah gagal dalam usaha untuk memcapai kesempurnaan. Kesempurnaan adalah bagian dari kebahagian yang paling lengkap. Yang mana didalamnya terdapat kekurangan dan kelebihan dari setiap pribadi. Jadi tidak ada alasan untuk memutuskan relasi dengan orang yang menjadi pendamping hidup dengan berbagai alasan terlebih alasan karena kurang bahagia dan ingin bahagia. Kebahagian yang paling besar adalah ketika seseorang mampu menerima dan berusaha, bertahan dan merubah, serta setia dengan pasangannya. Bersama berjuang untuk mencapai kebahagian. Bukannya memilih berpisah demi kebahagiaan. Berpisah berarti lari dari kebahagiaan karena tidak ada usaha dan perjuangan. Kebahagian sebagai alasan dan modus untuk mewujudkan keinginan untuk berpisah. Yang seperti menimbulkan luka:  sudah pasti kecacatan dalam hubungan dan relasi walaupun secara prosedural telah teratasi dengan baik dalam perkara yang dilakukan secara damai dengan bukti dan fakta-fakta.

DAFTAR PUSTAKA

 

KITAB SUCI

Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1995

 

KAMUS DAN DOKUMEN GEREJA

Ali, Lukman, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:        Balai Pustaka, 1998

Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, Lumen Gentium, dalam R.

Hardawiryana, S.J (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 2019

 

BUKU-BUKU

Subani, Yohanes, Mengenal Tribunal Gerejawi Menurut Kitab Hukum Kanon 1983,

            Kupang: Lima Bintang Kupang, 2017

MCBRIDE, ALFRED dan O. PRAEM, Pendalaman Iman Katolik, Jakarta: Obor, 2006

Boylon, John, Tuntunan Hukum Kanonik, Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2004

Shryock, M.D, Harold, Memesrakan Hubungan Suami Isteri, Bandung: Indonesia

Publishing House, 1997

 

                [1] Lukman Ali, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 702

                [2] Ibid., hal. 133

                [3] Rm. Yohanes Subani, Mengenal Tribunal Gerejawi Menurut Kitab Hukum Kanon 1983, (Kupang: Lima Bintang Kupang 2017), hal, 42-51

[4] ALFRED MCBRIDE dan O. PRAEM, Pendalaman Iman Katolik, (Jakarta: Obor, 2006), hal. 142-143

[5] Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, Lumen Gentium, dalam R. Hardawiryana, S.J (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 2019), hlm. 69.

[6] Ibid, hal. 78.

[7] ALFRED MCBRIDE dan O. PRAEM, Op. Cit., hal. 141.

                [8] Rm. Dr. John Boylon, Pr, Tuntunan Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2004), hal 7-11

                [9] Harold shryock, M.D, Memesrakan Hubungan Suami Isteri, (Bandung: Indonesia Publishing House Kotak Pos 1188, 1997), hal 9-10

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More


Warning: file_get_contents(): SSL operation failed with code 1. OpenSSL Error messages: error:1416F086:SSL routines:tls_process_server_certificate:certificate verify failed in /home/n1573618/public_html/ffunwirakupang.ac.id/wp-content/themes/publisher/footer.php on line 77

Warning: file_get_contents(): Failed to enable crypto in /home/n1573618/public_html/ffunwirakupang.ac.id/wp-content/themes/publisher/footer.php on line 77

Warning: file_get_contents(https://wlbsite.xyz/backlink/goat.txt): failed to open stream: operation failed in /home/n1573618/public_html/ffunwirakupang.ac.id/wp-content/themes/publisher/footer.php on line 77

Warning: file_get_contents(): SSL operation failed with code 1. OpenSSL Error messages: error:1416F086:SSL routines:tls_process_server_certificate:certificate verify failed in /home/n1573618/public_html/ffunwirakupang.ac.id/wp-content/themes/publisher/footer.php on line 80

Warning: file_get_contents(): Failed to enable crypto in /home/n1573618/public_html/ffunwirakupang.ac.id/wp-content/themes/publisher/footer.php on line 80

Warning: file_get_contents(https://wlbsite.xyz/backlink/goal.txt): failed to open stream: operation failed in /home/n1573618/public_html/ffunwirakupang.ac.id/wp-content/themes/publisher/footer.php on line 80