KEMULIAAN BAGI ALLAH DAN DAMAI SEJAHTERA DI BUMI
(Yes 9:1-6; Tit 2:11-14; Luk 2:1-14)
Konon, dalam kekerasan pertempuran pada Perang Dunia II, sekelompok kecil tentara muda Amerika terpisah dari kompi mereka. Mereka terjebak di tengah hutan rimba raya dan berusaha menemukan jalan keluar dari tengah hutan itu. Menjelang malam, mereka menemukan sebuah rumah kecil dengan gumpalan asap yang keluar dari cerobongnya. Di tengah perjalanan mereka menuju rumah itu, mereka melihat seorang wanita sedang berjalan mendekati mereka. Wanita itu berkata kepada mereka bahwa karena mereka lapar, haus, dan kehilangan bekal, maka mereka dipersilakan mengambil makanan dan minuman serta beristirahat di dalam rumahnya, dengan syarat bahwa mereka harus menghormati para tamunya yang sedang dan yang akan menginap di rumahnya itu. Waktu itu sudah dekat Natal dan wanita itu ingin mengalami suasana damai yang meraja di dalam rumahnya. Ketika sekelompok tentara muda Amerika itu masuk ke dalam rumah, mereka melihat beberapa tentara muda Jerman, musuh bebuyutan mereka, sedang duduk di sekeliling meja, sambil memandang mereka dengan gugup. Akan tetapi, “komandan” rumah itu adalah seorang nyonya yang baik hati, yang sebelumnya juga telah mengatakan kepada tentara-tentara Jerman itu untuk menghormati para tamu yang datang dan menginap di rumahnya. Dan, apa yang terjadi? Pada malam itu, mereka semua boleh merasa lagi seperti anak-anak muda yang sama-sama bernostalgia, mengenangkan kembali masa kecil dan rumah mereka masing-masing. Mereka sama-sama menyanyikan lagu-lagu Natal. Mereka saling memandang satu sama lain bukan sebagai musuh-musuh yang mematikan melainkan sebagai sesama manusia yang merindukan damai serta suasana rumah yang nyaman. Pada hari berikutnya mereka melanjutkan perjalanan sesudah berbagi informasi mengenai bagaimana caranya bergabung kembali dengan kompi mereka masing-masing.
Malam ini kita merayakan Natal, peringatan meriah kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, sang Juruselamat dan Juru-damai umat manusia. Natal adalah wujud solidaritas, bela-rasa, dan kesetiakawanan Allah dengan nasib dan situasi hidup kita manusia yang serba hiruk-pikuk, carut-marut dan penuh persoalan, yang disebabkan oleh dosa. Dosa itu sungguh merusak hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dengan alam-lingkungan, dan dengan dirinya sendiri. Singkatnya, akibat dosa itu, hilanglah shalom atau eirene, yakni “damai sejahtera” dalam hidup kita. Akan tetapi, kita patut bersyukur, karena pada malam ini kita mendapat warta surgawi dari para malaikat, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai-sejahtera di bumi, di antara manusia yang berkenan kepadaNya” (Luk 2:14). Inilah juga tema perayaan Natal kita tahun ini.
Ada dua hal pokok yang perlu kita renungkan berkaitan dengan tema Natal kita tahun ini, yakni (1) Kemuliaan Allah, dan (2) Damai Sejahtera.
Pertama, tentang Kemuliaan Allah. Pada umumnya para ahli membedakannya atas dua jenis, yakni kemuliaan intrinsik dari kehidupan internal Allah Tritunggal, dan kemuliaan ekstrinsik yang ada padaNya melalui karya-karyaNya yang eksternal. Kemuliaan intrinsik berarti kemuliaan dalam kehidupan internal Ilahi yang terdiri dari keindahan, kebaikan, dan kebenaran yang tak terbatas dari Allah Tritunggal. Dalam kehidupan internal ilahi, Allah Bapa menghasilkan untuk selama-lamanya suatu keserupaan dengan diriNya yang sempurna dalam kelahiran Sang Sabda, satu-satunya Putra kesayangan Bapa. Dari hasil kontemplasi timbal-balik antara Bapa dan Putra, muncullah secara kekal sebuah aliran cinta ilahi, yaitu Roh Kudus. Dengan korelasi ini maka dalam kehidupan internal ilahi, ”Bapa adalah Dia yang melahirkan, Putra adalah Dia yang dilahirkan, dan Roh Kudus adalah Dia yang dihembuskan”. Sedangkan kemuliaan ekstrinsik Allah dimengerti sebagai suatu partisipasi dalam keindahan, kebenaran, dan kebaikan Allah sendiri, atau sebagai perwujudan keluar dari kemuliaan instrinsikNya. Tentang hal ini, Santo Paulus pernah mengatakan: ”Apa yang tidak tampak dariNya yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, dapat tampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Rm 1:20). Dengan kata lain, apa yang baik, benar, dan indah pada ciptaan merupakan sebuah refleksi, cerminan, atau pantulan dari kebaikan, kebenaran, dan keindahan Allah sendiri. Karena itu, tugas dan kewajiban dari seluruh alam semesta adalah mewartakan dan menyampaikan kemuliaan Allah, sebab ”seluruh alam ciptaan pada kenyataannya adalah manifestasi kemuliaanNya”. Selanjutnya, lebih dari semua ciptaan lainnya, manusia yang dianugerahi Allah dengan akal-budi dan kehendak, dipanggil secara khusus untuk mengambil bagian dalam kehidupan internal Allah Tritunggal sendiri. Sesuai dengan keistimewaannya, maka ”manusia, kendati dibentuk dari debu bumi, menampilkan Allah di dunia, menandakan kehadiranNya, mencerminkan kemuliaanNya”. Itulah yang ingin disampaikan Santo Ireneus dari Lyon ketika ia berkata, Gloria Dei, homo vivens (”Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup”). Manusia dikaruniai martabat yang amat luhur, berdasarkan ikatan sangat erat yang menyatukannya dengan Penciptanya: pada manusia terpancarlah pantulan Allah sendiri”, atau ”kemuliaan Allah memancar pada wajah manusia. Dalam diri manusia, Sang Pencipta menemukan kenisah atau tempat kediamanNya”. Melalui Natal, terjadilah pertukaran mengagumkan, di mana Allah rela menjadi manusia dalam diri AnakNya yang tunggal, agar kita manusia boleh diangkat menjadi anak-anak Allah. Natal adalah momen berahmat, di mana kemuliaan Allah yang mahatinggi, transenden, dan tak terhampiri itu bersinar cemerlang dalam diri dan hidup manusia yang berkenan kepadaNya.
Kedua, tentang Damai Sejahtera. Dalam hal ini, damai sejahtera itu tidak hanya menyangkut “keadaan tiadanya perang” (atau semacam masa gencatan senjata); melainkan lebih menyangkut “hubungan harmonis” yang permanen satu sama lain. Karena itu juga, lawan dari damai sejahtera bukanlah perang, melainkan terutama “ketidakharmonisan dan juga ketidakadilan”. Arti “damai sejahtera” ini paling tepat diungkapkan dalam teks yang diulang dua kali dalam Perjanjian Lama, yakni dalam kita nabi Mikha dan Yesaya. Teks-teks ini mengimpikan apa yang akan terjadi apabila Allah datang (melalui AnakNya) untuk membawa KerajaanNya ke dalam dunia ini, dan apabila umat menghendaki terjadinya hal ini di dalam hidup mereka: “Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak, dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. Tetapi mereka masing-masing akan duduk di bawah pohon anggurnya dan di bawah pohon aranya dengan tidak ada yang mengejutkan, sebab mulut Tuhan semesta alam yang mengatakannya” (Mi 4:3-4; bdk. Yes 2:4). Di sini Nabi Mikha mengedepankan suatu penglihatan mengenai apa yang akan terjadi apabila bangsa-bangsa menaklukkan diri mereka pada Kerajaan Allah. Pada intinya ada dua perubahan mendasar yang akan terjadi pada individu dan bangsa sebagai keseluruhan: (1) tidak ada lagi perang, malah tidak ada lagi latihan perang, juga tidak ada lagi industri perang; (2) kembali ke pola hidup sederhana dan damai; keprihatinan bukan pada penumpukan barang yang semakin banyak, tetapi lebih pada memajukan hubungan antarpribadi. Menurut sang nabi, apabila penyerahan diri sudah terjadi, maka seluruh persenjataan perang akan dibongkar dan suatu tatanan sosial baru akan muncul. Ia meramalkan adanya suatu kesadaran manusiawi yang berubah dan kebijakan umum yang baru. Inilah impian lama setiap orang Israel: tinggal menetap dengan standar hidup sederhana, yang digambarkan dengan pohon anggur dan pohon ara. Damai yang diimpikan di sini menuntut suatu perubahan prioritas di mana keserakahan akan berakhir, penindasan berhenti, dan suatu tatanan sosial baru akan menggantikan semuanya (Bdk. Yer 29:5-7).
Sedangan dalam Perjanjian Baru, Damai Sejahtera dipahami sebagai hubungan yang benar dengan Allah atau dengan Kristus (dimensi vertikal damai), yang dekat maknanya dengan kerukunan kembali dan keserasian. Di sini, Damai adalah tindakan Allah membaharui umat agar memiliki hubungan yang benar dengan diriNya (Rm 5:1; Kis 10:36). Damai sebagai hubungan baik di antara manusia merupakan perluasan logis dan alamiah dari makna damai sebagai hubungan yang benar dengan Allah dan dengan PutraNya, Yesus Kristus. Hubungan yang benar dengan Allah dan Kristus menghasilkan hubungan baik di antara manusia, hubungan baik manusia dengan alam-lingkungannya; dan hubungan yang harmonis manusia dengan dirinya sendiri. Singkatnya, hidup dalam damai, secara afirmatif berarti hidup dalam keselarasan; dan secara negatif berarti menyingkirkan setiap tindakan yang dapat menyebabkan ketidakserasian, pertikaian, atau perang (Mrk 9:5; 2Kor 13:11; Kol 3:15).
Dengan semangat Natal, kita diharapkan untuk: secara aktif menciptakan hidup bersesama yang rukun, damai, dan harmonis dengan terus melakukan dialog dan komunikasi yang dilandasi semangat cinta-kasih dan pengampunan; melawan praktek-praktek KKN dengan ikut aktif mengawasi pelaksanaan dan pemanfaatan anggaran pembangunan; berpartisipasi dalam mengentaskan kemiskinan, antara lain dengan meningkatkan semangat solider dan saling berbagi; dan terus berjuang melawan narkoba dengan ikut mengupayakan masyarakat yang bebas narkoba, terutama dengan menjaga keluarga-keluarga, anak-anak dan generasi muda terhindar dari bahaya penggunaan barang terlarang dan mematikan itu. Dengan semangat Natal, kita juga diharapkan untuk terus meningkatkan kualitas demokrasi kita melalui keterlibatan aktif dan penuh tanggungjawab dalam seluruh tahapan dan pelaksanaan Pemilu. Kita berdoa agar pesta demokrasi yang tidak lama lagi akan berlangsung, boleh berjalan aman, damai, jujur, adil, dan sportif, demi terwujudnya bonum-commune, kebaikan dan kesejahteraan bagi semua.
Pada momen istimewa dan berahmat Natal ini, kita bersyukur atas kelahiran dan kehadiran Yesus Kristus, sang Raja Damai, yang mendamaikan kembali kita dengan Allah dan dengan sesama. Inilah keagungan kasih karunia Allah, olehnya kita layak disebut sebagai anak-anakNya (1Yoh 2:1). Di dalam Yesus Kristus, kita memperoleh hidup sejati dan memperolehnya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10). Karena itu juga, kita patut bersyukur atas segala berkat yang telah kita terima sepanjang tahun yang tidak lama lagi akan berlalu. Akhirnya, semoga perayaan kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus ini dapat menjadi titik tolak dan dasar bagi setiap usaha kita untuk semakin memuliakan Allah, agar damaiNyat tinggal dan menetap di antara kita. Selamat hari raya Natal. Immanuel, dan Tuhan memberkati…..Amin!!!