Adaptasi dan Inkarnasi
Asal Tulis
Adaptasi. Ini hal penting bagi seorang imam. Ditempatkan di mana saja, siap. Ditugaskan ke mana saja, siap. Medan apapun dan bagaimanapun dihadapi dengan semangat adaptasi. Dengan cara itu, segala tantangan dan kesulitan bisa diatasi. Perutusan tetap dijalankan hingga tuntas.
Adaptasi mengandaikan adanya kemauan dan kemampuan untuk menerima kenyataan apa adanya. Ada penyelarasan diri dengan kenyataan sambil berupaya untuk mengelolanya dengan bijaksana demi kebaikan bersama. Dengan adaptasi, seorang imam mampu bekerja dengan sukacita dan kreatif di medan apapun. Tak ada kata mundur. Tak ada kata menyerah. Tak ada rasionalisasi untuk pindah tempat yang nyaman. Semuanya dihadapi dan dijalani dengan tenang, sabar, bijaksana dan tetap mengandalkan Tuhan. Kekuatan mendasar adalah Tuhan yang mengutus. Dengan keyakinan iman yang kokoh, dibarengi dengan kemampuan mengelola hidup, maka seorang imam dapat beradaptasi untuk mewujudkan perutusannya sampai selesai.
Semangat adaptasi ini juga saya terapkan dalam perutusan asistensi Natal kali ini di Lapok, sebuah paroki di pedalaman Serawak, Malaysia. Adaptasi dimulai dari Miri. Adaptasi dengan irama hidup tuan rumah, Pastor Kevin. Segala rutinitas irama hidup di seminari ditinggalkan. Tempat baru, situasi baru, menuntut sikap adaptasi. Maka saya ikuti semua arahan dari Pastor Kevin. Terutama jam misa pagi, dan tugas membawakan homili. Misa pukul 07.00 pagi bersama sekitar 30an umat yang hadir. Setelah misa, langsung siapkan barang untuk lanjut ke Lapok. Tapi mampir sarapan dulu di warung langganan. Pastoran tak punya juru masak. Makanan terkadang diantar oleh umat. Jika tidak maka pastor makan di warung. Murah meriah dan praktis.
Di warung langganan kami pesan makanan untuk sarapan. Beberapa umat dan kenalan menyalami kami. Ada yang ikut misa tadi pagi. Sarapan pukul 08.00 tentu sesuatu yang luar biasa untuk mereka yang di seminari. Tapi itu tadi, harus berani beradaptasi. Menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Maka secara psikologis, batin tidak terganggu. Aman dan nyaman.
Saya pesan nasi iga babi. Rm Kevin makan keuw tiaw goreng. Minumnya teh untuk saya dan kopi untuk rm Kevin. Teh di sini selalu dicampur susu. Namanya teh tarik. Sambil makan kami berdua ngobrol banyak hal. Terutama tentang pastoral di Miri. Semuanya memang butuh proses. Khususnya mengenai panggilan menjadi imam diosesan yang sangat minim. Ada evaluasi kecil, namun sebatas wacana di kalangan imam dan umat. Bagusnya ada gerakan mendoakan panggilan menjadi imam. Kiranya buahnya melimpah dalam beberapa tahun mendatang. Umat yang tadi misa, telah selesai sarapan dan datang pamitan dengan kami. Sambil salaman, mereka sampaikan kepada Rm Kevin bahwa makanan kami juga sudah mereka bayar. Ternyata Tuhan tetap setia bermurah hati bagi kami para imam melalui umat yang peduli. Tentu saya merasakan pula di balik kejadian yang kedua ini (kali pertama saat Paska 2023 silam), bahwa pastor Kevin mencintai dan dicintai umatnya. Jika tidak, tentu tidak akan terjadi seperti ini. Itulah ciri seorang pastor bonus, yang setia melayani dengan tulus, dan Tuhan mengirim bonus pada waktunya.
Pukul 09.00 kami bergerak menuju Lapok. Satu jam lima puluh menit. Sepanjang jalan kami membahas banyak hal, terutama potensi pertanian selain kelapa sawit yang rerata dimiliki semua masyarakat. Saya coba berkisah tentang porang. Ternyata hal ini menarik perhatian rm Kevin. Dia akan mencari tahu informasi di internet dan mencoba mengembangkannya di sini.
Di Lapok kami disambut pastor Philip CMF dari India dan Katekis Sigim. Menjelang pukul 12.00 kami diajak makan siang di warung. Pastoran Lapok juga tidak memiliki jurumasak. Semua anggota pastoran bisa masak. Jika tidak masak, maka makan di warung. Pola hidup ini juga saya perlu adaptasi. Syukurlah, saya sudah alami saat Paska kali lalu. Maka tidak menjadi masalah. Nikmati saja sambil tetap menyiapkan diri untuk perayaan Natal bersama umat. Sesuai informasi dari Pater Philip, saya tidak natalan di Long Jegan, tetap di Lapok dan Bakong. Misa bergantian dengan dia. Pastor paroki Rm Joseph Ding belum tiba dari Long Lama. Dia ke sana untuk pemberkatan nikah. Saya sesuaikan diri saja. Ikut apa yang sudah diatur pastor paroki.
Di warung makan pun saya beradaptasi dengan menu yang ada. Pater memesan nasi goreng. Kami yang lain makan mie. Ibu Sigim dan ponaan memesan kiew tiaw goreng. Kakaknya pesan mie ayam. Saya dan Rm Kevin makan mie goreng spesial. Perut nasi kini sedang beradaptasi menjadi perut mie. Tak apa-apa. Tak ada rotan, akar pun jadi. Itulah ciri adaptasi.
Malam ini saya ditugaskan memimpin misa pukul 08.00 di gereja paroki Lapok. Saya bisa pakai bahasa Melayu. Ada juga teks misa bahasa Iban. Maka saya harus belajar membaca dan latihan karena di Bakong biasanya misa pakai bahasa Iban. Setelah melihat dan membaca teks itu saya paham bahwa ada banyak kemiripan dengan bahasa Melayu. Bahkan beberapa kata diserap dari bahasa Inggris, Arab dan Latin. Misalnya Krismas, Allah Taala, Santo. Saya bisa beradaptasi menggunakan bahasa Iban. Sedangkan kotbah bisa pakai bahasa Melayu.
Salah satu bentuk adaptasi juga adalah soal cuaca. Cuaca sehabis hujan ternyata sangat panas. Suhu mencapai 32 derajat. Kamar pastoran tanpa AC. Hanya kipas angin. Dan sangat panas. Tetapi saya enjoy saja. Sesuaikan diri lebih membuat nyaman daripada mengeluh tapi tak kan mengubah situasi. Berbaring sejenak saja dan tertidur sekejap. Menjelang pukul 15.00 saya menuju gereja untuk berdoa kerahiman, koronka dan rosario. Begitulah hidup. Mengalir saja dan nikmati apa yang ada. Itulah sikap adaptasi.
Inkarnasi sesungguhnya adalah sebentuk adaptasi juga. Tuhan menyesuaikan diri dengan manusia, dengan menjadi manusia. Masuk ke dalam kemanusiaan yang rapuh. Lalu mengangkat manusia ke tataran ilahi. Adaptasi melalui inkarnasi, berakhir dengan divinisasi soteriologis bagi manusia. Inkarnasi mengilhami para pastor untuk diutus ke mana saja, mampu beradaptasi dan berkarya dengan tulus hati di situ sampai selesai waktu perutusan. Tuhan itu baik.
Pastoran Lapok, 23/12-2023
RD Siprianus S Senda