“Merawat tanaman butuh konsistensi, perhatian, dan kesabaran. Begitu pula dengan membangun kehidupan yang bermakna.”
Dari ruang kuliah hingga halaman biara, gagasan tentang kewirausahaan ternyata bisa berakar di tanah sederhana. Dalam mata kuliah Pendidikan Kewirausahaan yang diasuh oleh Romo Yohanes Subani, para mahasiswa filsafat semester I diajak untuk “menghidupkan ide menjadi tindakan nyata” di komunitas masing-masing. Tantangan itu dijawab dengan beragam cara. Di halaman kecil antara dua biara: biara Frater-Frater Sch.P. dan biara Suster FADM di Penfui, Kota Kupang, suasana Selasa pagi, 16 September 2025, terasa berbeda. Enam frater muda dan seorang suster tampak sibuk dengan gunting, tanah, dan deretan botol plastik bekas. Bukan sedang bermain, mereka sedang belajar menanam kehidupan dalam bentuk sederhana: praktik penanaman sayuran menggunakan metode vertikultur.Kegiatan ini dipandu oleh Fr. Rolys Blau, Sch.P., dan menjadi pengalaman kolaboratif lintas komunitas yang hangat. Tujuannya sederhana namun bermakna, yakni memanfaatkan limbah plastik untuk menanam sayuran segar seperti sawi, kangkung, dan bayam di lahan terbatas. Prosesnya dimulai dari memotong dan memodifikasi botol plastik menjadi wadah tanam, mengisinya dengan campuran tanah, kompos, dan sekam, lalu memindahkan bibit yang telah disemai. Setelahnya, penyiraman dilakukan setiap pagi atau sore agar media tanam tidak cepat kering.
Lebih dari sekadar praktik bercocok tanam, kegiatan vertikultur ini adalah pelajaran hidup tentang kesabaran, kepedulian, dan tanggung jawab ekologis. Dalam keterbatasan ruang, para frater dan suster belajar menciptakan kelimpahan. “Hidup itu seperti vertikultur yang terbatas ruangnya, tapi tetap bisa tumbuh subur kalau dirawat dengan sabar dan cermat,” ujar Fr. Rolys Blau, Sch.P. dengan tenang. “Merawat tanaman butuh konsistensi, perhatian, dan kesabaran. Begitu pula dengan membangun kehidupan yang bermakna.”
Tentu saja, praktik ini tidak lepas dari momen lucu khas kebersamaan komunitas religius. Beberapa frater sempat bingung mencari alat paling pas untuk melubangi tutup botol. Ada juga yang terlalu bersemangat menyiram hingga air menyembur ke mana-mana, membuat tanah di sekitar area kerja becek. Namun puncak tawa pecah saat seorang frater mencoba menegakkan botol-botol vertikultur dengan paku yang ternyata terlalu kecil, dan hasilnya, seluruh deretan botol yang telah diisi tanah jatuh beruntun seperti domino.
Satu-satunya peserta suster, Suster Shema Kesa, FADM, menuturkan betapa kegiatan sederhana ini membangun rasa persaudaraan yang tulus di antara komunitas. Dalam canda dan kerja tangan, ia melihat bagaimana kerja sama yang kecil dapat menumbuhkan sukacita besar. “Bertanam sayur dengan cara ini ternyata bukan hanya soal hasil, tetapi soal kebersamaan,” ujarnya ringan.
Tawa, tanah, dan tangan kotor hari itu menjadi simbol kerja sama lintas komunitas religius yang penuh makna. Bagi mereka, kegiatan ini bukan hanya tentang menanam sayur, tetapi juga menanam kesadaran: bahwa dari sesuatu yang sederhana, botol bekas, segenggam tanah, dan sebatang bibit, Tuhan dapat menumbuhkan hal-hal besar, termasuk semangat hidup dan kepedulian terhadap sesama.