Stasi Maratak Optimis Memikul Salib
Stasi Maratak merupakan stasi terjauh dari Paroki Sangatta. Umat di sini hanya 20 KK. Ada orang asli Dayak Kenya. Ada juga para perantau dari Flores Timur, Maumere, Ende, Nagekeo, Ngada dan Manggarai. Ada pula dari Alor dan Timor. Kami rayakan Jumat Agung pukul 19.00 karena sebelumnya saya bersama umat di KM 110 rayakan pada pukul 15.00. Jadi Jumat Agung kali ini saya rayakan di kedua stasi ini.
Di Stasi Maratak kisah sengsara tidak dinyanyikan tapi dibacakan saja oleh 7 petugas. Yang jadi Yesus adalah ketua stasi, orang asli Dayak Kenya. Sebelum upacara Jumat Agung dimulai, saya cek seluruh persiapan dan petugas liturgi. Saya jelaskan secara singkat ibadat Jumat Agung dan prosesnya. Pengarahan kepada para petugas liturgi mengenai saat dan peran mereka dalam ibadat. Demikian pula arahan kepada seluruh umat, apa jawaban aklamasi umat dan pada saat mana mereka harus bersikap liturgis tertentu seperti duduk, berdiri atau berlutut. Kami sempat pula latihan jawaban umat dalam perarakan salib. Tiga kali aklamasi dinyanyikan pakai pola lagu yang sudah lazim karena lagu baru sebagaimana dalam Puji Syukur dan panduan upacara belum dilatih dengan baik.
Lektor, pemazmur dan pembaca kisah sengsara dapat menjalankan tugas mereka dengan baik. Dalam homili singkat saya mengarahkan umat untuk merenung tentang pengorbanan Yesus karena cinta dan makna salib bagi para pengikut Kristus. Kita belajar untuk memiliki semangat cinta yang berkorban dan kesetiaan memikul salib hidup sebagai murid Kristus yang siap menderita karena kebenaran.
Umat yang hadir cukup lengkap agaknya karena gereja penuh. Gerejanya terbuat dari kayu, rumah panggung. Di bagian depan gereja disediakan pula bangku untuk umat yang tidak mendapat tempat di dalam. Tapi tampaknya bagian depan itu menjadi tempat khusus bagi ibu-ibu dengan anak balita yang kerap rewel. Rata-rata mereka duduk di sana dan mengikuti upacara sambil mengurus anak-anak mereka.
Sehabis upacara, kami berfoto bersama. Lalu berkumpul di rumah pastoran yang juga rumah panggung. Listrik ternyata belum sampai di Maratak. Maka disiapkan genset. Hal ini baru saya sadari saat masuk ke rumah pastoran. Rumah ini sekaligus menjadi rumah umat. Di hari raya seperti ini, mereka berkumpul di sini untuk menyiapkan segala keperluan mengenai perayaan termasuk konsumsi pastor. Setelah perayaan selesai, mereka balik ke rumah masing-masing. Tentunya setelah seluruh area gereja dan pastoran dibersihkan.
Kami semua diajak makan bersama. Duduk lesehan. Menunya nasi bungkus daun pisang, ikan sungai yang digoreng lalu dimasak lagi bersama sayur nangka bumbu rendang. Sedap sekali. Ada sambal goreng tomat, kerupuk dan ikan laut goreng. Ikan sungai yang diolah dengan cara ini ternyata enak sekali. Ikannya ditangkap dari sungai Bengalon pakai jala oleh bapak ketua stasi. Setiap orang mendapat satu bungkus nasi yang harus dihabiskan, dan sepiring lauk ikan campur sayur nangka. Kerupuk, ikan laut goreng dan sambal itu pilihan tambahan. Bagi yang mau tambah, persediaan selalu ada.
Terasa benar persaudaraan dalam acara makan bersama ini. Semuanya ikut ambil bagian secara serentak, termasuk anak-anak dan mama-mama. Kebersamaan ini diselingi dengan ngobrol aneka topik. Saya lebih banyak bertanya tentang kehidupan mereka, mengenai pekerjaan dan kesejahteraan ekonominya. Sharing pengalaman itu memperkaya mereka untuk semakin bijaksana mengelola hidup sebagai orang Katolik. Semangat berkorban untuk kepentingan Gereja sungguh nampak. Walau merupakan kawanan kecil di perbatasan, mereka tetap optimis menghayati iman katolik. Perhatian pastor berupa pelayanan misa di hari raya seperti ini sangat berarti karena hampir setiap hari minggu, mereka hanya ibadat sabda tanpa imam. Syukur bila ada suster atau bruder yang datang memimpin ibadat dengan komuni. Lebih bersyukur lagi bila ada kunjungan pastor ke stasi untuk misa. Di titik ini, terasa benar apa yang dikatakan Yesus. Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Maka mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian supaya Ia mengirim pekerja untuk tuaian itu. Barangkali ini juga merupakan salib yang harus dipikul umat stasi Maratak. Kiranya Tuhan Yesus yang menderita mendengarkan doa dan harapan hati umat.