Semalam Di Lamboya

0 537

Di Lamboya, di simpang menuju Rua dan jalan menuju Paroki Lamboya, terdapat sebuah toko bernama toko Simpang. Toko ini menjual barang kebutuhan rumah tangga. Di sampingnya toko alat sepeda motor sebagai pengembangan usaha. Pemilik toko ini adalah pasangan unik yang berhasil dalam wirausaha. Musa Mone Jala dan Magdalena Wini Buu. Karena anak sulung mereka bernama Sintia atau Tia, maka keduanya lebih dikenal dengan sapaan Bapak Tia dan Mama Tia.

Saya beruntung mengenal mereka melalui Tia yang kuliah di Unika Widya Mandira Kupang, Prodi Komunikasi, FISIP. Tia mengenal hampir kami semua para Romo di Seminari Tinggi Santo Mikhael. Bermula dari Rm Theo Silab sebagai dosen Agama Katolik untuk mahasiswa Komunikasi. Tia yang kritis banyak bertanya kepada Rm Theo dan akhirnya mereka akrab. Rm Theo diundang libur ke Lamboya selama seminggu. Setelah mengenal saya, Tia juga mengajak saya berlibur ke rumahnya. Kesempatan itu datang saat ada kegiatan Delkit Nusra di Katikuloku Sumba. Saya beritau dia dan dia sampaikan kepada orang tuanya. Mereka senang sekali dan siap menyambut saya nginap semalam di rumah Lamboya.

Saya dijemput oleh bapak Tia dan kedua adiknya Ricko dan Deris, serta seorang sepupunya. Dari Tambolaka ke Lamboya sekitar 2 jam perjalanan. Mama Tia bersama Adelin sudah siap dengan makan malam. Berita kedatangan saya sudah sampai juga ke opa dan oma dari pihak mama, yaitu bapak Raymundus dan mama Martina. Ricko menjemput mereka dari Rua. Kami berjumpa dalam kehangatan persaudaraan dan makan malam bersama. Banyak cerita dan sharing pengalaman mewarnai kebersamaan kami yang singkat itu.

Dalam sharing, baru saya tahu bagaimana keluarga ini berjuang dari nol hingga mencapai keberhasilan dalam wirausaha. Mula-mula Bapak Tia merantau di Bali, setelah tamat SMA. Di Denpasar dia bekerja selama 13 tahun, hanya jual koran. Tapi dari kerja jual koran itu, dia menabung hingga mempunyai uang lumayan banyak. Hal ini menunjukkan bahwa dia berbakat  dan terampil dalam manajemen keuangan. Sempat pulang ke Lamboya satu tahun, lalu merantau lagi ke Flores dan kerja di perusahaan genteng. Di sini dia tidak lama bekerja. Setelah dua tahun dengan modal keterampilan kerja genteng dan kejelian menangkap peluang usaha, dia kembali ke kampung lagi tapi hanya sementara. Dia ingin ke Bali lagi untuk persiapan masa depan. Periode kedua di Bali membawanya untuk bertemu dengan jodohnya, Magdalena Wini Buu atau Mama Tia.

Mama Tia sendiri merantau ke Denpasar karena tidak ingin menikah dengan saudara sepupu kandung. Di Denpasar dia bertemu dengan Musa alias Bapak Tia. Keduanya sepakat menikah, meskipun beda Gereja. Bapak Tia anggota GKS. Mama Tia anggota Gereja Katolik. Mama Tia memutuskan ikut suaminya menjadi anggota GKS. Tia lahir di Denpasar, sedangkan adik-adiknya lahir di Sumba.

Yang terutama bagi keduanya dari hasil merantau adalah berubahnya cara pikir tentang kehidupan. Keduanya berpikir tentang wirausaha sebagai jalan hidup. Keterampilan manajeman keuangan yang diperoleh di tanah rantau menjadi modal berharga untuk usaha di Sumba. Keduanya sepakat balik kampung dan memulai usaha. Dengan sedikit modal yang dikumpulkan selama ini dari pekerjaan di Bali, mereka kemudian memutuskan membuka kios kecil menjual sembako. Saat itu tahun 2009, kios di Lamboya dihitung dengan jari. Kebetulan tanah warisan orang tua persis di depan simpang jalan utama. Kiosnya ternyata laris manis. Secara perlahan kios berkembang menjadi toko. Lalu toko sembako diperluas dengan toko alat sepeda motor sekaligus bengkel. Peluang kebutuhan spare-part sepeda motor ini dilihat dengan jeli oleh Bapak Tia. Kebutuhan masyarakat biasanya harus dipenuhi di Waikabubak. Makan ongkos. Dengan menangkap peluang ini, usaha toko makin berkembang. Perlahan tapi pasti keduanya bertumbuh menjadi pengusaha muda di Lamboya. Usaha makin berkembang dengan dibukanya toko kedua yaitu toko Deris di jalan menuju pantai Rua. Tenaga kerja di kedua toko berasal dari kalangan keluarga sendiri. Dengan itu, lapangan kerja diciptakan, minimal untuk anggota keluarga yang belum punya kerja.

Lambat laun keduanya mampu membeli truk untuk melayani jasa angkut bahan bangunan dll, juga mobil rush untuk urusan pribadi. Dalam perjalanan waktu, Bapak Tia yang berpikir jangka panjang mulai membeli tanah di beberapa titik strategis, termasuk tanah sawah yang dijual orang. Tanah sawah dikerjakan oleh petani sewaan.

Satu hal yang menarik dari keluarga ini adalah kehidupan rohani yang dihayati dengan baik. Kehidupan doa diutamakan. Selalu ada waktu untuk ibadat di gereja maupun berdoa dalam keluarga. Makan bersama didahului dengan doa bersama. Setiap anggota keluarga bisa bergiliran memimpin doa. Bapak Tia mengisahkan bahwa perjuangan usahanya tidak lepas dari berkat Tuhan. Maka bersama Mama Tia dan keempat anaknya: Tia, Adelin, Ricko dan Deris, mereka selalu mengutamakan hidup doa sebagai hal mendasar. Setiap usaha apapun didahului dengan doa. Pergumulan memutuskan hal penting dalam kehidupan maupun usaha tertentu selalu dialaskan pada doa yang intensif. Anak-anak dididik untuk memiliki kerohanian yang kuat dan kepribadian yang berkarakter kristiani.

Menurut Bapak Tia, Lamboya memiliki banyak peluang usaha. Yang dibutuhkan adalah kemauan berusaha, kejujuran, cara berpikir wirausaha, kejelian menangkap peluang dan manajemen keuangan yang benar. Hal itu dibuktikan oleh dirinya dan Mama Tia. Maka dia mengajak orang muda untuk berani berwirausaha dan kreatif menciptakan lapangan kerja di kampung sendiri. Tuhan memberkati keluarga ini.

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More