ANULASI PERKAWINAN DALAM GEREJA KATOLIK MENURUT KANON 1672

0 2,493

Abstrak

ciri khas Perkawinan katolik bersifat monogam dan tak terceraikan. Namun, faktanya banyak pasangan suami/istri katolik yang kandas dalam menjalankan ajaran dasar itu. Lalu, bagaimana pandangan Gereja dalam menanggapi persoalan tersebut?  Artikel ini memuat kajian teoritis dan praktis tentang anulasi perkawinan dalam Gereja katolik. Berbeda dengan perceraian, anulasi mengandaikan sebuah perkawinan yang tidak sah dan gagal serta dimanfaatkan sebagai jalan terakhir dalam karya pastoral perkawinan. Di satu pihak, anulasi merupakan kebijakan pastoral Gereja yang bertujuan untuk mempertahankan hakikat perkawinan yang monogami dan tak terceraikan; pada pihak lain, anulasi harus sungguh-sungguh mewujudkan kerahiman dan kasih Allah yang menyelamatkan, khususnya bagi keluarga yang gagal dalam hidup perkawinan. Karena itu, baik uskup maupun pastor paroki hendaknya serius merancang kursus persiapan perkawinan yang dapat mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sah dan bimbingan pastoral keluarga muda yang memasuki perkawinan secara tidak memadai.

Kata Kunci: Anulasi, perceraian, pastoral

 

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidup perkawinan dan hidup berkeluarga antara orang-orang yang telah dibabtis dalam gereja katolik diakui dan diyakini sebagai salah satu jalan panggilan hidup. Perkawinan Kristiani merupakan sebuah panggilan hidup dan sekaligus suatu sakramen yang berlandaskan pada cinta kasih Kristus sendiri. Cinta kasih Kristus itu menjadi dasar kasih suami istri. Cinta kasih kasih Kristus yang dengan total menyerahkan diri demi keselamatan umat manusia dapat menjadi teladan bagi pasangan suami-istri Kristiani, dalam mencintai pasangannya seara total dan utuh.

Totalitas dalam mencinta satu dengan yang lain bagi pasangan suami istri adalah syarat memngkin bagi mereka untuk mencapai kebahagian dalam mendayung bahtera kehidupan rumah tangga. karena Kristus itu pulalah memungkinkan memahami arti kesetian dalam hidup perkawianan. Dalam hidup perkawinan wujud kesetian terungkap dalam komitmen untuk membentuk suatu persekutuan yang tetap. Komitmen membentuk persekutuan (consortium) seluruh hidup bagi pria dan wanita menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri dan pendidikan anak-anak antara orang- orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.[1] Dalam  sebuah dokumen konsili Vatikan II, mengatakan  demikian;

“para suami-istri Kristiani dengan sakramen perkawinan menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja, dan ikut serta menghayati misteri itu, atas kekuatan sakramen, mereka itu dalam hidup berkeluarga maupun dalam meneerima serta mendidik anak saling-membantu untuk menjadi suci; dengan demikian, dalam status hidup dan kedudukannya, mereka mempunyai kurnia yang khas di tengah umat Allah. sebab dari persatuan suami istri tumbulah keluarga, tempat lahirnya warga-warga baru masyarakat manusia, yang berkat rahmat Roh Kudus karena dibabtis menjadi anak-anak Allah, untuk melestarikan uamat Allah dari abad ke abad[2]

Dokumen di atas, hendak mengaskan bahwa perkawinan itu merupakan kehendak Allah sejak semula oleh karenanya perkawinan dipandang suci. perkawinan mereka yang dibabtis adalah lambang nyata bagi perjanjian baru dan kekal yang dimeteraikan dalam diri Kristus.  dan demgan kekuatan Roh Kudus Pria maupun wanita mampu saling mengasihi seperti Kristus telah mencintai kita. kasih suami istri mencapai kepenuhannya yang merupakan tujuan instrinsiknya, yakni cinta suami istri, ciri yang khas dan istimewa, serta dipanggil untuk menghayati cinta kasih Kristus sendiri yang menyerahkan diriNya disalib sebagai tebusan bagi orang banyak.[3]

seiring dengan keyakinan panggilan hidup berkeluarga merupakan jalan menuju kekudusan, tidak berarti bahwa hidup perkawianan itu tidak mempunyai persoalan. salah satu persoalan dalam hidup perkawinan adalah gugagatan kepada tribunal Gereja agar melakukan pembatalan (anulasi) perkawianan yang telah diikrar.

 

2.PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Mengenai Hambata-Hambatan Konsensus Perkawinan

Kesepakatan dalam perkawianan bisa dilaksakan secara penuh dan utuh manakala kedua mempelai yang hendak mengadakan perkawinan berada dalam situasi dan kondisi diri yang utuh dan sehat secara psikologis, biologis maupun secara spiritual. Namun sebaliknya jika aspek-aspek ini mengalami kerusakan atau kemandekan maka consensus menjadi terhambat. Kanon 1096 menunjukan rumusan berupa penunjang konsep baru sebagai faktor dan parameter dalam melegitimasi sebuah konsensus perkawinan sebagai berikut:

“tidak mampu melansungkan perkawinan apabila klien mengalami 1) yang kurang dalam penggunaan akal budi yang memadai. 2) yang menderita cacat berat dalam kemampuan menegaskan penilaian mengenai hak-hak serta kewajiban–kewajiban hakiki perkawinan yang harus diserahkan dan diterima secara timbal-balik. 3) yang karena alasan-alasan psikis tidak mampu mengemban kewajiban-kewajiban hakiki mperkawinan”.[4]

Rumusan kanon 1095 ini sungguh baru dan merupakan hasil perkembangan yurisprudensi dan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang psikologi dan psikiatri. Kemampuan untuk memberikan konsensus perkawinan ini mencakup tiga kemampuan yaitu kemampuan a) untuk melakukan tindakan manusawi yang bertanggung jawab; b) untuk menilai dan memahami hakikat perkawinan secara memadai dan 3) untuk menghayati dan melakukan semua hak dan kewajiban yang muncul dari perkawinan tersebut. Ketiga kemampuan ini bertalian sangat erat satu sama lain bahkan dalm praktik didalam keseharian hidup sulit untuk membedakan dan memisahkanya.

Kanon 1058 menunjukan dengan tegas ketidakmampuan seorang untuk menikah karena dua alasan fundamental, yaitu karena ketidakmampuan satu; untuk menggunakan akal budi secukupnya. dua untuk menegaskan penilaian yang tepat dan menyeluruh tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban hakiki dari perkawinan. Sedangkan kanon 1096 lebih menunjukan ketidakmampuan dalam mengemban dan menjalani hidup perkawinan karena adanya ganguan psikologis atau kejiwaan.

Ketidakmampuan untuk menggunakan akal budi secukupnya jelas membuat yang bersangkutan tidak mungkin mampu menikah dengan sah. Perjajian nikah selalu mengandaikan bahwa yang bersangkutan sunguh-sungguh mengetahui dan memahami apa yang sedang ia lakukan dalam kesadaran diri yang utuh ia berjanji. Ketidakmampuan menggunakanan akal budi secara memadai barang tentu menyebabkan mandek dalam menjalan perkawinan. Hala yang secara tegas dianjurkan oleh doktrin gereja kususnyan kanon 1096. Yurisprudensi Gereja biasanya dapat melihat adanya beberapa landasan untuk membatalkan perkawinan, misalnya insanitas atau amentia (kegilaan) penyakit jiwa, psikopat, psikonerose. Keadan mental seperti ini daklam telaah teori psikologis akan mempengaruhi perkembangan akal budi manusia. Bahkan yurisprudensi gereja selalu menganggap tidak sah, perkawinan yang dicoba dilansungkan oleh orang yang sedang berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, entah karena pengaruh alkohol, ganja tertidur, entah epilepsy.

Ketidakmampuan untuk memnegaskan penilaian mengenai hak dan kewajiban hakiki perkawinan pun akan menghalangi seorang unntuk menikah secara sah. Hak dan kewajiban hakiki perkawinan adalah perkawinan seluruh hidup (consortium totius vitae), antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan implikasinya yang sangat essensial adalah ikatan perkawinan yang bersifat monogam dan tak terceraikan (unitas et indissolublitas) “kebersamaan hidup senatiasa mengandaikan” kesetiaan untuk hidup bersama hanya dengan satu pasangannya sendiri saja, baik dalam keadaan baik maupu dalam keadaan buruk.

Setiap calon suami/suami dan calon istri/istri memiliki kaopasitas dasar dalam mengakomdasi sisi kebaikan dan keburukan dari bakal isteri/ istri atau bakal suami/suami yang dipilih dan memilih dengan hati bebas. Orang yang mampu menikah diandaikan dan diharapkan memahami hal-hal ini. jika tidak memiliki kapasitas ini maka patut diragukan akan menjadi apa hidup perkawina dari pasangan ini nantinya? Mungkinkah mereka bisa mengartikan perkawinan sebagai istitusi mini dalam menemukan kebahagian dan kesucian hidup? Kita bertanya karena jangan sampai kehidupan keluarga hanya sekedar locus karantina yang mengandangi kedua mahluk yang hanya berwujud manusia. Oleh karena itu aksentuasi penggunaan akal budi dari actor dan aktris perkawinan itu bagi kaum kristiani adalah hal yang signifikan. Sebab kalau ada ketidakmampuan serius untuk menegaskan penilaian tentang hakikat perkawinan dan akibat-akibatnya, seharunya ia tidak dapat menikah secara sah.

Ada orang yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dan berpandangan jernih pada bidang-bidang kehidupan lainya, namun tidak demikian dalam hidup perkawinan. Misalnya orang dapat berbisnis dengan sangat baik, namun tidak mampu memahami bahwa perkawinan kristiani menurut hubungan inter-relasional dan sekaligus bersifat monnogam dan tak terceraikan. Biasanya orang ini di pandang tidak memliki kemampuan jika orang tersebut memiliki ketidakteraturan mental (Mental Dis Order) yang menyebabkan kemampuan intelektualnya terganggu.

Ketidakmampuan dalam mengemban hak dan kewajiban hakiki perkaawinan dapat muncul jika yang bersangkutan tidak mampu melakukan kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae). Hal ini bisa ditemukan misalnya dalam diri orang, yang sedemikian egoistis, narsistis, dan hanya memikirkan diri sendiri. Sehingga ia tidak tahu cara bagaimana membangun kebersamaan hidup dengan orang lain. Konkritnya bisa dilihat dalam diri orang yang memiliki prilaku luar biasa (aneh) misalnya, orang yang tidak mampu melaksakan hubungan seksual hanya dengan satu orang saja, entah karena kebiasaan masa lalunya, entah karena kebutuhan seksualnya yang begitu besar, (hypersexsual) ataupun dalam kasus lain misalnya mereka yang mengalami kelainan psykoseksual, seperti homoseksual, (gay dan lesbian), eksibisionis, bestialis (tertarik secara seksual kepada binatang). Ketidakmampuan ini adalah cacat yang membuat cacatnya konsensus perkawinan yand valid.

Adapun faktor penyebab dari ketidakmampuan ini lazimnya adalah disebabkan oleh adanya kelainan psikologis dalam diri orang itu, tak pelak bahwa fakta kehidupan manusia itu variatif. Ada orang yang di anugrahi kapasitas dan kesanggupan diri yang spektakuler baik kapasitas inteleknya yang jenius, kapasitas emosional yang matang dan kapasitas kerohanianya yang teguh. Sebaliknya ada orang yang memili kesanggupan-kesanggupan yang pas-pasan bahkan yang dibawa standar medium orang normal. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa ketidakmampuan berbeda dengan ketidakmauan.

Ketidamampuan bisa didefinisikan sebagai ketidaksanggupan kodrati sang pelaku terhadap yang hendak dilakukannya dalam hal ini adala perkawianan sementar ketidakmauan itu lebih menunjuk pada sebenarnya mampu. Maka ketidakmauan tidak serta merta menggagalkan perkawinan. Sedangkan ketidakmampuan lebih menunjuk pada tidak memiliki daya untuk melakukannya, kalau saja ketidakmampuan ini disebabkan oleh factor-faktor psikologs maka seara logis menggagalkan perkawinan. Pengalaman-pengalaman traumatis yang membuat orang tidak mampu mengemban kewajiban hakiki perkawinan, misalnya dapat mengagalkan perkawinan karena orang orang tersebut pada dasarnya tidak mampu mengucapkan konsensus yang benar. Dalam artian bahwa konsensus yang diucapkanya cacat karena pasti tidak akan dapat dilaksakanya.[5]

Ketidakmampuan dalam melaksankan consensus baik dalam tataran sebagai konsep muaupun dalam upaya pengkonkritisasian konsep dalam realitas kehidupan sehari-hari ditandai adaya kemandekan dalam pengaktualisasian hakikat konsensus perkawianan. Sebab ketika suami istri tidak mampu dalam menepati consensus tentu akan berdampak pada eksistensi anak-anak baik sebagai tujuan primer dari perkawinan katolik.

  • Anulasi Sebagai Bentuk Hambatan Perkawinan

2.2.1 Pengertian Anulasi

Kata anulasi (annulment) berasal dari kata Latin ad (ke, menuju) dan nullum (hampa); secara etimologis kata anulasi berarti membuatnya hampa, kosong[6]. Dalam konteks ajaran resmi Gereja katolik tentang perkawinan, anulasi adalah sebuah deklarasi atau pernyataan resmi gereja (melalui Tribunal atau pengadilan Gereja) bahwa sebuah perkawinan tidak sah sedari awal-mula. Dengan pernyataan tersebut, pasangan laki-laki dan perempuan yang de fakto pernah tinggal bersama sebagai suami isteri dinyatakan tidak pernah ada atau tidak pernah eksis secara de iure. Kebersamaan mereka tidak dilihat sebagai sebuah perkawinan yang sebenarnya sesuai tuntutan hukum gereja tetapi hanya sebagai perkawinan yang semu atau palsu.

Anulasi dalam pandangan Gereja katolik berbeda dengan perceraian. Perceraian adalah berakhirnya perkawinnan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.[7] Dalam kata perceraian terkandung makna bahwa perkawinan yang sah sedari awal diceraikan karena alasan tertentu seperti alasan perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), alasan ekonomi dan sebagainya. Dalam kasus perceraian, sebuah perkawinan diakui pernah eksis/ada dan sah baik secara hukum (de iure) maupun secara de fakto. Dengan perceraian sebuah perkawinan yang sah dibubarkan dan dibuat atau dinyatakan tidak ada (eksis) lagi.

Jadi, pada anulasi sebuah perkawinan dinyatakan tidak pernah ada/eksis secara hukum walaupun secara de fakto pernah hidup bersama sebagai suami dan isteri; sedangkan pada perceraian sebuah perkawinan dinyatakan pernah ada baik secara hukum dan de fakto namun dibubarkan dan atau berhenti di tengah jalan.

 2.2.2 Kasus Anulasi

Ada sebuah pasutri (pasangan suami istri) bernama Markus dan Petronela. Kuduanya berasal dari Manggarai Barat dan merantau ke Kalimantan. Di Kalimantan mereka berkerja di perusahaan yang sama yakni perusahaan Sawit. Setiap hari mereka berkerja sama dan dalam perjalanan waktu, keduanya saling menyukai satu sama lain. mereka berpacaran selama tiga tahun. Hubungan mereka berdua berujung pada pengikraran janji setia di altar suci. Menarik bahwa disaat mempersunting Petronela si mempelai pria alias Markus mengaku bahwa dirinya seorang bujang tulen.  Petronela percaya terhadap pengakuan si Markus dan menerima dia sebagai suaminya.  keduanya menikah pada tanggal 3 Desember 2015. Setelah menikah keduanya tetap berkerja di Kalimantan.

Berita tentang pernikahan antara Petronela dan Markus ini menukik sampai ketelinga si Katarina istri sah dari Markus sebelum ia merantau ke Kalimantan. Markus menikah dengan Katarina pada tahun 2001 dan memiliki dua orang anak. Katarina merasa tidak puas dengan perbuatan Markus. Ia pun bersama saudaranya berangkat ke Kalimantan untuk membawa pulang Markus. Petronela terkejut ketika mengetahui ternyata Markus telah memiliki istri dan anak. Ia merasa ditipu oleh Markus. Petronela mengajukan gugatan ke tribunal keuskupan Kalimantan bahwa dirinya telah ditipu dan ia hendak menceraikan Markus. Akhirnya pernikahan keduanya berakhir pada tanggal 2 Juni 2021. Kisah ini menggabarkan tentang bukti ketidakjujuran dalam consensus perkawinan. Markus telah menyalahi ajaran gereja yang menekankan bahwa  konsensus nikah juga harus tulus dan jujur, serta ada kesesuaian antara apa yang diucapkan di mulut dengan apa yang ada di dalam hati calon mempelai. Jika seseorang menjalankan kesepakatan nikah hanya di mulut saja dan tidak datang dari hati nurani yang mendalam maka perkawinan yang demikian adalah perkawinan yang semu atau palsu; olehnya perkawinan tersebut adalah tidak sah.

Dari kisah diatas, dapat diteranngkan demikian. Jika perkawinan antara Markus dan Petronela dibatalkan atau dianulasi oleh Tribunal Keuskupan pada tanggal 2 Juni 2021, maka kehidupan bersama sebagai suami isteri antara Markus dan Petronela dari tanggal tanggal 3 Desember tahun 2015 sampai 2 Juni 2021 dinyatakan sebagai perkawinan yang tidak sah. Kebersamaan mereka tidak diakui secara de iure; olehnya, secara hukum tidak pernah ada perkawinan antara Markus dan Petronela sejak tanggal 3 Desember 2015. Namun Jika perkawinan Markus dan Petronela ini diceraikan pada tanggal 2 Juni 2021, maka kebersamaan hidup antara Markus dan Petronela sejak tanggal 2 Desember 2015 sampai dengan 2 juni 2021, diakui sebagai sebuah perkawinan yang sah. Namun perkawinan yang sah itu berhenti dan dibubarkan pada tanggal 2 Juni 2021. Sejak 2 Juni 2021, tidak ada lagi perkawinan yang sah antara Markus dan Petronela. Akan tetapi jelas bahwa pernikahan Markus dan Petronela  dalam kisah ini memenuhi kriteria kategori anulasi. Pernikahan keduanya dilansungkan atas dasar kepalsuan maka tidak sah. Petronela mempunyai hak untuk meninggalkan Markus, sebab dia menipu dan tidak jujur. Tindakan petronela menurut ajaran gereja katolik dapat dibenarkan jika dilihat dari beberapa alasan berikut.

Pada hakekatnya anulasi sebuah perkawinan menuntut beberapa persyaratan. Pertama, anulasi dilakukan untuk sebuah perkawinan yang gagal dan tidak bisa dilanjutkan lagi oleh kedua pasangan. Kedua, salah satu pasangan atau keduanya menggugat perkawinan yang gagal itu kepada tribunal gereja yang berkompeten (kanon 1672). Ketiga, gugatan yang disampaikan memenuhi persyaratan formal dan materil sesuai ketentuan kanon 1501- 1506. Keempat, berdasarkan data dan bukti yang dikumpulkan seputar perkawinan tersebut, tribunal, secara pasti dan meyakinkan, menemukan cacat atau kesalahan atau kekurangan yang berat pada salah satu atau kedua pihak (calon nikah) di saat pertukaran janji nikah di gereja. Di sini, kekurangan atau cacat yang berat membuat perkawinan itu tidak sah; pernyataan atau deklarasi Gereja hanya berfungsi menegaskan sebuah perkawinan yang gagal sebagai perkawinan yang tidak sah; Gereja (tribunal) tidak membatalkan atau menceraikan atau membubarkan sebuah perkawinan yang sah. Cacat atau kekurangan yang menyebabkan sebuah perkawinan tidak sah haruslah berkaitan dengan syarat penting dan konstitutif sebuah perkawinan katolik yang sah. Perkawinan katolik yang sah menuntut calon nikah memiliki kebebasan untuk menikah, kemampuan untuk membuat kesepakatan nikah secara matang dan benar, kemauan untuk sebuah perkawinan seumur hidup, kesetiaan satu sama lain dan keterbukaan terhadap kelahiran anak, dan sebagainya.

Perkawinan Markus dan Petronela dapat dibatalkan sebab Markus tidak jujur. Markus sadar bahwa dalam konsensus nikah kedua mempelai juga harus tulus dan jujur, serta ada kesesuaian antara apa yang diucapkan di mulut dengan apa yang ada di dalam hati calon mempelai. Akan tetapi dengan sadar pula Markus mengabaikan itu. Markus sebenarnya menjalankan kesepakatan nikah hanya di mulut saja dan tidak datang dari hati nurani yang mendalam.  Sebaliknya Petronela terjebak dalam penipuan yang dibuat oleh Markus, seandainya dari awal ia mengetahui bahwa Markus telah memiliki istri dan anak yang sah, maka ia tidak mau menikah dengan Markus. Hal ini disampaikan oleh Petronela dalam surat gugatannya ke tribunal keuskupan. Ia petronela menyesal telah bersedia menikah dengan Markus yang sudah menipunya. Ia terlanjur menikah dengan Markus. Markus pun mengakui bahwa dia telah menipu. Jadi, berdasarkan ajaran Gereja maka perkawinan yang demikian adalah perkawinan yang semu atau palsu; olehnya perkawinan tersebut adalah tidak sah.

 

  1. PENUTUP

 

Gereja Katolik pada dasarnya menentang “perceraian suami-isteri” dari perkawinan yang sah. Anulasi atau “pembatalan” perkawinan sebagai bagian dari solusi alternatif yang ditawarkan gereja hanya bisa dilakukan untuk perkawinan yang tidak sah sejak saat pertukaran janji nikah. Anulasi terjadi setelah tribunal Gerejawi menyelidiki dan menemukan kebenaran obyektif tentang perkawinan tersebut. Paus Fransiskus menegaskan agar anulasi perkawinan harus mewujudkan kerahiman dan kasih Tuhan sehingga membuahkan keselamatan. Perkawinan, sebagai sakramen, seharusnya mendatangkan berkat dan keselamatan bagi mereka yang menikah. Karena itu Gereja hendaknya secara serius mengembangkan pastoral perkawinan yang mendukung keluhuran martabat sakramen perkawinan. Disain pastoral perkawinan hendaknya bersifat komprehensif agar mendorong dan menolong pasutri dan pihak-pihak yang bersengketa menemukan jalan keselamatan agar tidak menjauhkan gereja. Semua orang beriman kristiani, terutama para Uskup dan pastor paroki, hendaknya berusaha sungguh-sungguh menjunjung tinggi keadilan dan keamaian dalam menyelesaikan masalah atau sengketa-sengketa (perkawinan) di kalangan umat Allah.

 

 

 

 

 

 

 

REFERENSI

Bria Y. Benyamin. Pastoral Perkawinan Gereja Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik 1983: Kajian dan Penerapannya. Yogyakarta: Yayasan Nusa Pustaka Nusatama, 2007

Caparros, E., M. Theriault dan J. Thorn eds. Code of canon Law Annotated. Montreal: Wilson & Lefleur Limitee. 1993.

Coriden, James A., Thomas J. Green dan Donald E. Heintschel (eds.). 1985. The Code of canon law: A text and Commentary. NewYork: Paulist Press

Kitab Hukum Kanonik 1983

Paulus Yohanes II, “Kitb Hukum Kanonik tahun 1983” dalam Kartosiswoyo, penerj,         Bogor, Grafika Mardi Yuana, 2006

                              , Promulgator, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium, dalam R. Hardawirjana peenerj. Jakarta: Obor, 1993

                                 , Amanat Apostolik, Familiaris Consortio tentang Keluarga 22 November 1981 Dalam Seri Dokumen Gerejawi 30 Jakarta: Departemen Dokumentasi dan penerangan KWI, 2005

Rubiyatmoko, Robertus, PERKAWINAN KATOLIK MENURUT KITAB HUKUM KANONIK Yogyakarta: Kanisius, 2011

Sparks, 1990 Boylon

Yohanes, S, 10 Pilar Perkawinan Katolik Yang sah. Yogyakarta: Amara Books, 2009.

PERCERAIAN MENURUT UU NO 1 TAHUN 1974 | kevin evolution wordpress.com diakses pada tanggal 12 November 2021 pukul. 10.00 WITA

[1]. Paus Yohanes Paulus II, Kitb Hukum Kanonik tahun 1983., terj., Kartosiswoyo Pr, Cs (selanjutnya akan ditulis KHK …hlm), (Bogor, Grafika Mardi Yuana, Yuana, 2006) hlm. 286

                [2] Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium, dalam R. Hardawirjana (peenerj.), (Jakarta: Obor, 1993), art. 11.

                [3] Paus Yohanes Paulus II, Amanat Apostolik, Familiaris Consortio tentang Keluarga (22 November 1981), Dalam Seri Dokumen Gerejawi 30 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan penerangan KWI, 2005), no. 13.

[4] KHK, hal. 304

[5] Robertus Rubiyatmoko, Pr, PERKAWINAN KATOLIK MENURUT KITAB HUKUM KANONIK (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hal. 90-92

[6]  (Sparks, 1990), hal. 23.

[7] PERCERAIAN MENURUT UU NO 1 TAHUN 1974 | kevin evolution (wordpress.com) diakses pada tanggal 12 November 2021 pukul. 10.00 WITA.

Comments
Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More